Kamis 17 Mar 2022 14:23 WIB

Setelah HET, Giliran Kebijakan DMO Minyak Sawit yang Dicabut Kemendag

DMO minyak sawit akan akan dicabut diganti dengan mekanisme pajak.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pedagang mengemas minyak goreng curah di kawasan Desa Tungkop, Darussalam, Aceh Besar, Aceh, Kamis (6/1/2022). Kementerian Perdagangan (Kemendag) memutuskan untuk mencabut kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak sawit.
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Pedagang mengemas minyak goreng curah di kawasan Desa Tungkop, Darussalam, Aceh Besar, Aceh, Kamis (6/1/2022). Kementerian Perdagangan (Kemendag) memutuskan untuk mencabut kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak sawit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) memutuskan untuk mencabut kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak sawit. Namun, untuk memastikan pasokan sawit dalam negeri terpenuhi, pemerintah akan menggunakan instrumen perpajakan yang membuat tarif pajak untuk ekspor lebih tinggi.

"DMO akan dicabut diganti dengan mekanisme pajak, jadi (pajak) besar kalau jual di luar negeri (ekspor) sehingga lebih untung di dalam negeri, begitu caranya," kata Lutfi usai meninjau harga bahan pokok di kawasan Pasar Senen, Jakarta, Kamis (17/3/2022).

Baca Juga

Lutfi menjelaskan, saat ini besaran pungutan ekspor dan bea keluar sebesar 375 dolar AS per ton. Pemerintah, kata Lutfi, akan menambah 300 dolar AS menjadi 675 dolar AS per ton.

Adapun aturan sebagai dasar hukum perubahan tersebut akan diterbitkan hari ini dan akan berlaku dalam lima hari ke depan. Sebelumnya, Kemendag mengatur DMO sebesar 20 persen dari volume ekspor CPO setiap perusahaan eksportir. Pemerintah kemudian kembali meningkatkan volume DMO menjadi 30 persen yang diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 170 Tahun 2022.

Lebih lanjut, ia menambahkan, dinaikkannya tarif pajak itu sekaligus untuk meningkatkan pendapatan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang akan digunakan untuk mensubsidi minyak goreng curah.

Seperti diketahui, pemerintah melepas harga minyak goreng kemasan sehingga mengikuti harga pasar. Namun, untuk minyak goreng curah diatur harganya sebesar 14 ribu per liter karena pemerintah memberikan subsidi

"BPDPKS akan mempunyai uang yang cukup untuk memastikan pemerintah hadir dengan harga minyak goreng curah Rp 14 ribu per liter," kata Lutfi.

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menilai, disparitas antara harga keekonomian minyak goreng curah dengan harga acuan tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp 14 ribu per liter bisa mencapai RP 7.500 per liter. Jumlah yang besar itu, tentunya membutuhkan pengawasan ketat dari pemerintah karena jumlah itu yang nantinya akan disubsidi.

Ia menjelaskan, harga keekonomian minyak goreng curah itu berdasarkan harga minyak sawit (CPO) KPBN Dumai saat ini yang berada di level Rp 15.864 per kg.

Sahat mengatakan, ada isu strategis yang menjadi pembahasan antara pemerintah dan produsen minyak goreng yakni pada mekanisme administrasi untuk mengklaim subsidi tersebut.

Saat ini, GIMNI sedang melakukan pendataan produsen minyak goreng curah di Indonesia untuk didaftarkan kepada Kementerian Perindustrian. Itu demi mencegah adanya oknum produsen minyak goreng yang secara mendadak mengklaim pencairan subsidi dari pemerintah.

Produsen minyak goreng curah juga wajib mendaftarkan distributor masing-masing dengan alamat yang jelas. Jika data sudah terkumpul lengkap dan valid baru dapat dilakukan penghitungan rinci biaya distribusi dari pabrik, ke distributor, agen hingga warung atau koperasi pasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement