REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk berencana mendirikan anak usaha baru sektor financial technology atau fintech. Hal ini bertujuan untuk memberikan pelayanan optimal dan beragam kepada para nasabah.
Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo mengatakan cakupan anak usaha baru ini juga meliputi sektor asuransi jiwa dan manajer investasi. "Rencana itu, sebenarnya masih ada. Tapi masih menunggu arahan dari Kementerian BUMN karena itu ada tahapannya, tidak serta merta pengembangannya bisa ke area nonperbankan atau tindakan aksi korporasi seperti akuisisi," ujarnya saat konferensi pers virtual, Selasa (8/2/2022).
Menurutnya perseroan telah melakukan diversifikasi produk bukan hanya produk perbankan, tetapi juga keuangan. Adanya lisensi sebagai bank, maka perusahaan bisa memiliki asuransi jiwa, manajemen investasi dan lainnya.
“Perluasan usaha ini bertujuan juga untuk melalui kemitraan, perjanjian saluran distribusi dan lainnya,” ucapnya.
Sebelumnya, pada tahun lalu perseroan menyatakan ada mendirikan tiga anak usaha. Perseroan telah mengalokasikan anggaran Rp 700 miliar hingga Rp 1 triliun.
Kinerja Bisnis Masa Pandemi
Perseroan mencatat jumlah outstanding restrukturisasi kredit terdampak pandemi Covid-19 semakin melandai. Sepanjang 2021, total outstandingnya sebesar Rp 40,39 triliun atau 14,7 persen dari total kredit perseroan. Sedangkan sepanjang 2020, total restrukturisasi Covid-19 sebesar Rp 57,52 triliun atau 22,1 persen terhadap total kreditnya.
"Presentasi restrukturisasi Covid-19 terhadap total kredit terus melanjutkan penurunan sejak kuartal I 2021," ucapnya.
Menurutnya tren penurunan ini diharapkan terus berlanjut mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang semakin mengalami pemulihan. Tercatat restrukturisasi Covid-19 terdiri dari KPR subsidi 31,28 persen, KPR non subsidi 33,45 persen, kredit komersial 12,5 persen, kredit korporasi 8,38 persen, kredit konsumer non perumahan 3,91 persen, dan pembiayaan syariah 10,34 persen.
Dari total outstanding restrukturisasi Covid-19, hanya 3,3 persen yang masuk kategori berisiko tinggi, sebanyak 2,67 persen masuk medium risk dan 94,03 persen beresiko rendah. Adapun yang berpotensi turun ke non performing loan (NPL) sebesar 4,95 persen.