Senin 07 Feb 2022 17:43 WIB

Harga Pembangkit Listrik EBT Kian Murah Dibanding Fosil

Pembangkit listrik berbahan bakar fosil kini telah tertinggal dari sisi teknologi.

Teknisi melakukan pemeriksaan rutin pada panel surya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di PT Surya Energi Indotama, Bandung, Jawa Barat, Selasa (1/2/2022). Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto menyebutkan tren penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) terus meningkat dari waktu ke waktu seiring kemajuan teknologi.
Foto: ANTARa/Novrian Arbi
Teknisi melakukan pemeriksaan rutin pada panel surya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di PT Surya Energi Indotama, Bandung, Jawa Barat, Selasa (1/2/2022). Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto menyebutkan tren penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) terus meningkat dari waktu ke waktu seiring kemajuan teknologi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto menyebutkan tren penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) terus meningkat dari waktu ke waktu seiring kemajuan teknologi. Ini membuat harga listrik bersih kian murah ketimbang berbahan bakar fosil.

Kuntoro mengatakan kemajuan teknologi akan membuat keseimbangan persaingan usaha antara EBT dan energi fosil. "Tadinya, PLTU lebih murah daripada energi baru terbarukan, maka karena kemajuan teknologi energi baru terbarukan juga akan menjadi jauh lebih murah daripada PLTU," ujarnya dalam seminar transisi energi dan sumber daya mineral yang dipantau di Jakarta, Senin (7/2/2022).

Baca Juga

Kuntoro mengapresiasi upaya PT PLN (Persero) yang sekarang sedang membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat, karena harga listrik dari pembangkit itu hanya empat sen dolar AS per kWh. Menurut menteri era Kabinet Reformasi Pembangunan itu, pembangkit listrik berbahan bakar fosil kini telah tertinggal dari sisi teknologi, sehingga secara komersial akan sulit bersaing dengan EBT.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan salah satu yang menjadi penggerak transisi energi global adalah biaya teknologi energi hijau yang semakin turun dan semakin rendah dari waktu ke waktu. Menurutnya, harga panel surya telah mengalami penurunan sebesar 90 persen dalam satu dekade terakhir pada rentang 2010 sampai 2020. 

Adapun harga turbin angin juga turut mengalami penurunan sebesar 48 persen. Sedangkan, dalam lima tahun, harga battery storage mengalami penurunan sebanyak 40 persen.

Badan Energi Terbarukan Internasional (Irena) memproyeksikan harga panel surya akan turun 55 persen pada 2030 dan 45-55 persen untuk tubin angin. "Selain harga teknologi yang semakin turun, akses pada teknologi ini semakin terbuka dan semakin luas," jelas Fabby.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement