REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Novita Intan
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mencatat sejak 2013 sampai 2021 produksi rokok mengalami penurunan 3,56 miliar batang per tahun. Ketua Gappri Henry Najoan mengatakan penurunan produksi akan berdampak ke petani, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.
“Kondisi produksi rokok legal di Indonesia sejak 2013 ke 2021 terus menurun. Secara trend linear produksi rokok turun 3,56 miliar batang setiap tahunnya sejak 2013 sampai 2021,” ujarnya saat webinar yang digelar Akurat.co seperti dikutip Senin (8/11).
Henry merinci pada 2013, produksi rokok sebanyak 345,89 miliar batang, 2014 menjadi 344,52 miliar batang, 2015 naik menjadi 348,10 miliar batang. Pada 2016 kembali turun menjadi 341,72 miliar batang, 2017 ada 336,34 miliar batang, 2018 menjadi 332,68 miliar batang.
Pada 2019 produksinya sempat 363,56 miliar batang. Lalu kembali turun pada 2020 yang ada 330,59 miliar batang, dan di 2021 menjadi 297,53 miliar batang.
Henry menganggap penurunan produksi tersebut juga tidak terlepas dari maraknya rokok ilegal. Maka itu, dia meminta pemerintah serius untuk memberantas rokok ilegal. “Mengusulkan dilakukan strategi penindakan rokok ilegal secara extra ordinary dalam pemberantasan peredaran rokok ilegal, sehingga mampu tertelusur, transparan, terpadu, dan ada efek jera bagi pelaku produksi dan pengedar rokok ilegal,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad meminta pemerintah tidak menaikkan cukai rokok pada tahun depan. Hal ini perlu mempertimbangkan aspek pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. “Saya kira menarik bahwa rokok itu nomor dua konsumsinya gitu, fase pemulihan ini ketika dituntut (harga cukai) naik saya khawatir ini kontraproduktif terhadap upaya pemulihan (ekonomi) karena konsumsi justru nomor dua, saya kira kekhawatiran kita malah justru lebih lambat pemulihannya,” ucapnya.
Tauhid menganggap kenaikan cukai rokok juga akan berimbas ke industri dan penyetoran ke kas negara, sehingga tarif cukai tersebut pada 2022 harus diperhitungkan secara matang. "Artinya memang industri hasil tembakau ini industri yang sangat diatur sebuah regulasi. Jadi maju tidaknya IHT, seberapa jauh pemerintah mengaturnya, termasuk mengendalikan berapa persen kenaikan tarif cukai pada 2022 mendatang," tutur Tauhid.
Peneliti FEB Universitas Padjadjaran Wawan Hermawan menyebut rata-rata prevalensi merokok usia 15 tahun ke atas di negara-negara OECD sebesar 17,1 persen dan OECD bagi usia 6 tahun ke atas sebesar 17,4 persen. Adapun mayoritas negara dalam pengamatan menunjukkan tren penurunan dalam prevalensi merokok bagi usia 15 tahun ke atas termasuk Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan rata-rata prevalensi merokok bagi usia 15+ yang lebih tinggi dari pada rata-rata OECD dan OECD 6+. “Kenaikan harga cukai rokok di Indonesia sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok, sehingga peningkatan rokok yang terlalu tinggi dikhawatirkan bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah (substitusi/ rokok ilegal), alhasil bisa meningkatkan prevalensi merokok akibat mengkonsumsi rokok yang lebih murah," ucapnya.
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) Ahmad Avenzora mengakui masih ada sebanyak 1,55 persen pada 2019 dan 1,58 persen pada 2020 anak usia 5-17 tahun yang merokok selama sebulan terakhir. Penduduk berumur 30 tahun ke atas menjadi kelompok yang paling banyak dalam merokok sebulan terakhir.
Sekitar 3 dari 10 penduduk berumur 30 tahun ke atas merokok selama sebulan terakhir, yakni 51 persen pada 2019 dan 31,10 persen pada 2020. Rata-rata konsumsi rokok dan tembakau per kapita seminggu terhadap jenis rokok filter adalah yang terbesar, baik 2019 maupun 2020 sebanyak 12,56 batang dan 12,34 batang.
"Rata-rata pengeluaran rokok dan tembakau per kapita seminggu untuk jenis rokok kretek filter merupakan yang terbesar baik 2019 maupun 2020 sebesar Rp 12.876 dan Rp 13.424, " ucapnya.