REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurangan dan penyederhanaan kebijakan non-tarif perdagangan pangan dan pertanian merupakan opsi yang dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan juga mengurangi kemiskinan, berdasarkan sebuah penelitian. Hasil penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memperlihatkan, meningkatnya penggunaan kebijakan nontarif, seperti kuota, inspeksi pra pengiriman, atau hambatan teknis, dalam sektor pangan berkontribusi pada tingginya harga pangan di Indonesia.
Selain itu juga berdampak pada besarnya porsi pengeluaran pangan masyarakat sehingga berdampak pada peningkatan kemiskinan, ketimpangan dan risiko malnutrisi. “Penerapan kebijakan nontarif pada perdagangan pangan berkontribusi pada tingginya harga komoditas pangan, terutama pada komoditas penting yang kenaikan harganya berdampak besar pada tingkat konsumsinya di masyarakat. Hal ini akan mempengaruhi konsumsi, terutama konsumsi keluarga di bawah garis kemiskinan,” kata Kepala Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta, Sabtu (16/10).
Beberapa kebijakan nontarif seperti standar sanitasi dan kesehatan memang diperlukan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen dan lingkungan. Namun, banyak jenis kebijakan nontarif teknis lainnya yang justru menimbulkan hambatan perdagangan yang seharusnya tidak perlu.
Penghapusan kebijakan non-tarif pada beras dan daging sapi, misalnya, berpotensi membantu upaya pengentasan kemiskinan hingga sekitar 2,83 poin persentase. Perkiraan ini menunjukkan perlunya pengurangan jumlah kebijakan non-tarif pada impor pangan, terutama pada komoditas yang paling banyak dikonsumsi.
“Harga makanan dan kemiskinan memiliki keterkaitan karena pengeluaran terbesar rumah tangga adalah untuk makanan. Bank Dunia menyebutkan, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 48,55 persen dari pengeluaran mereka untuk makanan dan minuman,” kata Felippa.