Jumat 01 Oct 2021 09:09 WIB

Indef: Kepentingan Nasional Lebih Penting dari Kejar Target

Pengembangan EBT jangan sampai menekan keuangan negara.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolandha
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Jumat (10/9). Pemerintah diminta memprioritaskan kepentingan nasional dalam menjalankan strategi transisi energi.
Foto: Antara/Jojon
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Jumat (10/9). Pemerintah diminta memprioritaskan kepentingan nasional dalam menjalankan strategi transisi energi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta memprioritaskan kepentingan nasional dalam menjalankan strategi transisi energi. Upaya mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025, jangan sampai memberikan tekanan pada keuangan negara.  

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra El Talattov menyatakan, transisi ke energi bersih memang perlu didukung karena ini sudah menjadi komitmen global. Tapi dalam pelaksanaannya, pemerintah harus tetap mempertimbangkan kondisi pasokan listrik yang sedang berlebih. 

"Kita semua pasti memiliki dukungan ke arah transisi energi, Tapi kita juga harus objektif melihat secara utuh, seperti apa kondisi faktual, dalam konteks dinamika energi di Indonesia," ujar Abra, Jumat (1/10).

Saat ini, daya listrik PLN mencapai 57 gigawatt (GW), dengan beban puncak 39 GW, sehingga ada cadangan berlebih hingga 18 GW. Kapasitas listrik akan semakin bertambah seiring dengan beroperasinya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam proyek 35.000 megawatt.

"Ini kemudian jadi pertanyaan, dari sisi EBT dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) ketika EBT baru jadi sekitar 52 persen dari awalnya 31 persen. Nah kalau EBT mau di-push, bagaimana dari fosil?" jelasnya.

Untuk itu, Abra mengingatkan agar pemerintah memperhatikan aspek supply and demand terlebih dahulu sebelum melakukan penambahan pembangkit berbasis EBT. Penambahan pembangkit EBT yang dipaksakan bakal membuat APBN jebol karena listrik berbasis EBT dikenakan skema Feed in Tariff. 

"Perlu dilihat juga risiko BUMN kita ataupun APBN. Kalau kita lihat beberapa tahun terakhir, subsidi energi tumbuh per tahun 8,6 persen subsidi energi. Tahun depan subsidi energi mencapai Rp 134 triliun, belum lagi bicara kompensasi, itu menjadi konsekuensi dari komitmen pemerintah untuk menyediakan energi murah, yang merata, tetapi juga komitmen yang sifatnya hijau," ujarnya.

Abra mengingatkan, pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada aspek keberlanjutan, tetapi juga berkeadilan. Pemenuhan energi, perlu memperhatikan kepentingan nasional, ketahanan APBN dan menjamin ketersediaan energi untuk generasi mendatang. 

"Jangan sampai menimbulkan beban baru. Kita anggap mampu beralih ke EBT, tapi nyatanya kita belum selevel ke negara-negara lain. Di sisi global, bauran EBT global 12 persen, kenapa ambisi kita lebih dari situ?" katanya.

Abra juga mengingatkan, negara-negara maju seperti Inggris, Amerika dan Eropa yang selama ini gencar mengkampanyekan EBT pun, saat ini kembali menggunakan PLTU batu bara di tengah krisis energi. Ada dinamika eksternal yang memaksa negara-negara tersebut realistis. 

Kepentingan nasional lebih penting sehingga komitmen EBT dinomorduakan. Karena ini berhubungan dengan ketahanan energi. Begitu juga di China.

"Indonesia mumpung masih proses awal, jangan sampai terjerumus lebih dalam. Kita harus mempersiapkan diri, analoginya pendapatan perkapita kita belum selevel negara maju, tetapi kita ingin merasa tampilan sama seperti negara-negara maju," tutur Abra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement