REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyatakan pemulihan ekonomi yang berbeda di berbagai negara di dunia menyebabkan kenaikan inflasi. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan tak sebanding dengan ketersediaan barang yang belum siap 100 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan fenomena ini karena pandemi Covid-19, sehingga banyak pabrik tidak bisa beroperasi secara maksimal dan saat yang sama permintaan tertahan, tiba-tiba permintaan melonjak karena ekonomi yang mulai pulih.
“Malaysia yang masuk sebagai negara dengan kasus Covid-19 tertinggi dan merupakan suplier dari beberapa elektronik, ini juga menimbulkan dampak inflasi sampai ke Amerika Serikat. Ini yang harus kita perhatikan,” ujarnya saat rapat bersama DPR secara virtual, Senin (30/8).
Sri Mulyani menjelaskan inflasi di Amerika Serikat melonjak dari satu persen pada Juli tahun lalu menjadi 5,4 persen pada tahun ini. Hal ini perlu diwaspadai karena inflasi yang tinggi membuat Bank Sentral Amerika Serikat menarik stimulus, sehingga muncul tapering off.
“Taper tantrum seperti pada 2013 bisa saja kembali berulang. Kami dengan gubernur Bank Indonesia selalu terus melihat seluruh dinamika ekonomi kita karena kita bersama-bersama bertanggung jawab mendesain kebijakan fiskal dan moneter yang bisa mengurangi dampak yang terjadi baik di dalam kendali kita maupun di luar kendali kita,” ungkapnya.
Sri Mulyani menyebut pemulihan ekonomi yang tidak seragam menjadi salah satu risiko global. Pandemi hanya akan hilang apabila tidak ada lagi di dunia.
“Jadi kita tidak bisa menyelesaikan begitu saja tapi ada dampak bagaimana penetrasi vaksinasi dan sistem kesehatan di seluruh negara,” ucapnya.