REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menanti selama 22 tahun pengembalian aset bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Adapun total kewajiban BLBI yang masih dikelola oleh pemerintah sebesar Rp 110,45 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah berupaya menangani persoalan perbankan dan keuangan yang bebannya sampai saat ini akibat penanggungan tersebut. Hal ini mengingat bantuan likuiditas dibiayai dalam bentuk surat utang negara yaitu surat utang negara yang diterbitkan oleh pemerintah yang sampai sekarang masih dipegang oleh Bank Indonesia.
“Pemerintah selama 22 tahun tentu dalam hal ini selain membayar pokoknya juga membayar bunga utangnya karena sebagian dari BLBI ada yang menggunakan tingkat suku bunga yang memang sebagian dinegosiasikan," ujarnya konferensi pers penyitaan aset BLBI secara virtual, Jumat (27/8).
Sri Mulyani mengungkapkan 22 tahun yang lalu, 1997-1999 terjadi krisis keuangan di Indonesia dan krisis keuangan tersebut mengenai perbankan yang menyebabkan banyak bank mengalami kesulitan. Pemerintah dipaksa untuk melakukan apa yang disebut penjaminan blanket guarantee kepada seluruh perbankan di Indonesia saat itu.
"Dalam situasi kemudian banyak bank yang mengalami penutupan atau dilakukan merger atau akuisisi. Dalam proses itu dalam rangka untuk menjaga stabilitas sistem keuangan maka Bank Indonesia melakukan apa yang disebut bantuan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami kesulitan," ucapnya.
Menurutnya pemerintah selama 22 tahun juga membayar bunga utangnya karena sebagian dari BLBI, menggunakan tingkat suku bunga yang memang sebagian dinegosiasikan. "Jadi ini sebetulnya persoalan yang sudah cukup lama tapi yang jelas yang tadi disebutkan. Kita masih harus menanggung biaya tersebut dan biaya tersebutlah yang sekarang ini kita coba melalui Satgas BLBI untuk diminimalkan atau dikurangi caranya kita melakukan negosiasi dengan para obligor dan debitur untuk membayar kembali apa yang sudah mereka terima 22 tahun yang lalu,” ucapnya.