REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan pentingnya akurasi data dan ketepatan sasaran penerima Bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (BPUM) untuk para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). "KPK menekankan pada tercapainya tujuan program penyaluran BPUM agar dapat berjalan baik dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat yang saat ini sangat membutuhkan," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (6/8).
Ia mengatakan sesuai tujuannya, program BPUM untuk membantu pelaku usaha mikro dalam aspek pembiayaan sekaligus memperkuat daya beli masyarakat sebagai stimulus yang menggerakkan ekonomi. Dalam pelaksanaan tugas monitoring, KPK mengundang Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (Kemenkop UKM) membahas perkembangan persiapan penyaluran kembali BPUM untuk para pelaku UMKM secara daring, Kamis (5/8). Dalam rapat, KPK meminta Kemenkop memaparkan kesiapan dan langkah-langkah yang dilakukan merespons masukan yang telah KPK sampaikan sebelumnya.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam pertemuan menyampaikan kementeriannya sedang mempersiapkan penyaluran BPUM tahap II tahun 2021 kepada 3 juta target pelaku usaha mikro dengan besaran bantuan Rp 1,2 juta per pelaku usaha pada bulan Agustus 2021. Saat ini telah terdaftar sekitar dua juta pemohon dan untuk tambahan satu juta lainnya.
Kemenkop akan memfokuskan untuk menjaring peserta di luar wilayah Jawa dan Bali untuk merespons masukan KPK sebelumnya. Menkop mengakui persoalan utama yang dihadapi dalam penyaluran bantuan tersebut adalah terkait integrasi data. Ia menyatakan Kemenkop telah memperbaiki mekanisme dan skema pendaftaran berangkat dari pengalaman dan evaluasi atas pelaksanaan program pada tahun 2020.
Di antaranya, untuk memastikan terjadinya integrasi satu data maka pendaftaran peserta penerima BPUM hanya dibuka satu pintu melalui usulan dinas koperasi dan UKM di kabupaten/kota. Menkop memastikan untuk pelaksanaan bantuan kali ini akan menjaring penerima bantuan berbasis nomor induk kependudukan (NIK) dan dipadankan dengan data Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta penerima program prakerja.
KPK menilai perubahan tersebut akan memberikan manfaat yang lebih baik karena database pengusaha mikro akan terkonsolidasi se-Indonesia yang harapannya akan memudahkan program lanjutan dari Kemenkop ke depan. "Kedua, perubahan sistem pengajuan dari lima jalur menjadi hanya dari dinas koperasi dan UKM akan mencegah ketidaktepatan penerima karena banyak titipan. Ketiga, data peserta yang dipadankan dengan data BKN, prakerja, dan berbasis NIK akan meningkatkan ketepatan sasaran bantuan," ucap Ipi.
Selain itu, KPK memastikan akan terus mengawal implementasi penyaluran bantuan di lapangan dengan menerima laporan dari masyarakat untuk memastikan penerimaan bantuan tepat sasaran dan tepat jumlahnya melalui aplikasi JAGA Bansos. "Data per 30 Juli 2021, KPK menerima total 775 keluhan khusus terkait penyaluran BPUM terdiri atas 642 laporan pada tahun 2020 dan 133 laporan hingga Juli 2021. Keluhan paling banyak untuk 2020 tercatat dari daerah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sedangkan 2021 tercatat keluhan paling banyak dari wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatra Utara," ungkap Ipi.
Ipi mengatakan keluhan paling banyak perihal peserta tidak menerima bantuan di daerahnya, meskipun sudah menerima informasi dari bank penyalur tetapi setelah dicek belum mendapatkan dananya. Kemudian, peserta menerima pemberitahuan mendapatkan dana BPUM tetapi identitas atau data perbankan tidak sesuai, keluhan terkait informasi untuk mendapatkan BPUM dan pertanyaan seputar bansos UMKM, dan dana bantuan yang sudah masuk ditarik atau didebet kembali oleh bank penyalur.