REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang dan jasa. Adapun rencana tersebut tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai rencana ini menjadi kebijakan yang tidak manusiawi. Apalagi di tengah pandemi saat daya beli masyarakat sedang turun drastis.
“Pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi,” ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (10/6).
Menurutnya pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat. Oleh karena itu, wacana ini harus dibatalkan.
“Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN,” ucapnya.
Tulus meminta pemerintah bisa menaikkan cukai rokok yang lebih signifikan. Artinya dengan menaikkan cukai rokok, potensinya sebesar Rp 200 triliun.
“Selain itu, akan berdampak positif thd masyarakat menengah bawah, agar mengurangi konsumsi rokoknya, dan mengalokasikan untuk keperluan bahan pangan,” ucapnya.