REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan terdapat laju inflasi nasional sepanjang Mei 2021 tercatat sebesar 0,32 persen. Terdapat kenaikan dari laju inflasi bulan sebelumnya yang mencapai 0,13 persen. Meski begitu, kenaikan inflasi yang terjadi belum dapat memperlihatkan pemulihan daya beli.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto, mengatakan, kenaikan inflasi yang terjadi lebih disebabkan oleh adanya momen musiman, khususnya bulan Ramadhan dan Lebaran. Itu salah satunya tecermin dari pengungkit utama inflasi yang bersumber dari kenaikan harga bahan makanan akibat peningkatan permintaan.
"Dilihat dari beberapa komoditas utama yang sebabkan inflasi ini, antara lain, adalah bahan makanan yang notabene memang dibutuhkan masyarakat memenuhi kebutuhan sehari-hari terkait puasa maupun hari raya," kata Setianto dalam konferensi pers, Rabu (2/6).
Setianto menyampaikan, kelompok pengeluaran, kelompok yang memberikan andil terbesar, yakni kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 0,10 persen. Kelompok ini pada bulan lalu mengalami inflasi 0,38 persen.
Lebih detail, komoditas yang dominan memberikan andil inflasi, yakni daging ayam ras dan ikan segar masing-masing 0,4 persen. Kemudian, diikuti buah jeruk, minyak goreng, dan daging sapi masing-masing 0,02 persen. Selanjutnya ayam hidup, kelapa, apel, dan kentang masing-masing 0,01 persen.
Selain menyumbang inflasi, tetap terdapat komoditas pangan yang memberikan andil deflasi. Di antaranya cabai merah sebesar 0,07 persen serta cabai rawit 0,05 persen.
"Terasa sekali (puasa dan Lebaran) meningkatkan harga-harga dan inflasi pada Mei," katanya.
Ia pun mengatakan, BPS belum dapat menyimpulkan apakah terjadi pemulihan daya beli secara keseluruhan. Menurut Setianto, masih perlu dilihat perkembangan harga-harga pada bulan-bulan ke depan.
Sebab, pada Mei lalu, sebagian masyarakat tengah mendapatkan pendapatan musiman, seperti tunjangan hari raya maupun donasi-donasi sosial ke masyarakat tertentu, melalui zakat dan instrumen lainnya.
"Jadi, ya belum bisa kami simpulkan. Kita lihat apakah dalam dua bulan ke depan terjadi pemulihan (daya beli) atau tidak," kata dia.