Senin 24 May 2021 14:46 WIB

Sri Mulyani: Pemerintah Masih Konsisten Jalankan Tax Amnesty

Kebijakan tax amnesty tidak akan berpengaruh besar terhadap rasio pajak.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Sejumlah petugas memberikan sosialisasi Amnesti Pajak kepada pedagang. ilustrasi
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Sejumlah petugas memberikan sosialisasi Amnesti Pajak kepada pedagang. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih menjalankan konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid I. Adapun program pengampunan pajak pertama bergulir pada 2016 dan rencananya akan kembali dilanjutkan tahun ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pihaknya meminta Direktorat Pajak melakukan peraturan UU Tax Amnesty dan peraturan menteri keuangan secara konsisten. "Kita terus melaksanakan konsekuensi dari tax amnesty tahun pajak 2015. Saya minta teman-teman pajak tetap melakukan yang sesuai dengan peraturan UU TA (Tax Amnesty) dan peraturan pemerintah serta PMK nya dengan konsisten," ujarnya saat Peresmian Organisasi dan Tata Kerja Baru Instansi Vertikal DJP secara daring, Senin (24/5).

Setidaknya ada tiga konsekuensi tax amnesty yang diatur dalam peraturan pemerintah. Pertama, bagi peserta amnesti pajak yang dikemudian hari ditemukan harta yang belum diungkapkan dalam surat pernyataan harta (SPH). Apabila terbukti maka yang bersangkutan dikenakan PPh final plus sanksi denda administrasi sebesar 200 persen.

Kedua, bagi peserta amnesti pajak yang gagal melaksanakan komitmen repatriasi atau investasi paling singkat tiga tahun di dalam negeri. Konsekuensinya, harta bersih tambahan yang diungkapkan dalam SPH dianggap sebagai penghasilan tahun pajak 2016 dan dikenai PPh serta sanksi sesuai aturan yang berlaku (dua persen per bulan).

Ketiga, bagi wajib pajak yang tidak ikut amnesti pajak dan ditemukan harta yang belum diungkapkan dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh). Maka, konsekuensinya, harta bersih yang ditemukan dianggap sebagai penghasilan saat ditemukan dan dikenai PPh serta sanksi sesuai aturan yang berlaku (dua persen per bulan).

Sementara Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati mempertanyakan hasil evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tax amnesty jilid I. "Tax amnesty jilid 1 bagaimana kabarnya," kata Anis.

Anis menjelaskan ketika kebijakan tax amnesty dirancang, pemerintah memiliki tiga sasaran utama yaitu menambah pendapatan perpajakan di Indonesia, dapat menarik dana dari luar negeri, serta diharapkan bisa memperluas basis perpajakan di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan rasio pajak Indonesia.

Terkait dengan sasaran pertama, dia mengemukakan pemerintah menargetkan tambahan pendapatan pajak sebesar Rp 165 triliun dari kebijakan ini. Namun, lanjut dia, angka terakhir menunjukkan jumlah uang tebusan yang masuk hanya sebesar Rp 135 triliun atau 81 persen dari target yang sudah dicanangkan.

“Melesetnya target tersebut tentu berimplikasi ke APBN yang sedang berjalan. Apabila angka tersebut sudah dimasukkan sebagai target pendapatan, maka ketika tidak tercapai, kekurangan sebesar Rp 30 triliun harus ditambal, baik melalui penambahan defisit (utang) maupun mengurangi pos belanja," ungkapnya.

Dia mengingatkan sejumlah penelitian empiris menunjukkan kebijakan tax amnesty tidak akan berpengaruh besar terhadap rasio pajak. Maka itu politisi senior PKS ini kembali mengingatkan agar pemerintah mempertimbangkan respons wajib pajak, salah satu respons yang akan muncul terkait pembayar pajak yang patuh akan kecewa karena mereka tidak diuntungkan dari kebijakan ini.

Selain kecewa, lanjutnya, pembayar pajak yang jujur juga takut bahwa pendapatan negara yang hilang akibat tax amnesty akan menjadi beban pajak untuk mereka di masa yang akan datang.

"Hal ini bisa mendorong para pembayar pajak yang jujur untuk ikut melakukan pengemplangan. Dari sini kita dapat melihat bahwa sekarang justru bukan saat yang tepat untuk melakukan tax amnesty," tegas Anis.

Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel meminta rencana pemerintah untuk memberikan amnesti pajak jilid II secara jelas mengenai tujuan dan target sasarannya. “Jangan sampai cuma memutihkan dana di luar negeri tapi gagal melakukan repatriasi. Harus ada kombinasi keduanya," kata Rachmat.

Pemberian amnesti ini juga harus diberikan kepada pelaku ekonomi kecil, sehingga tidak hanya fokus pada pengusaha ekonomi besar. “Pemberian amnesti pajak jilid pertama pada beberapa waktu lalu belum mampu menjaring uang milik pengusaha yang disimpan di luar negeri untuk bisa kembali ke Tanah Air,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement