REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) menyatakan, kondisi kecukupan jagung untuk industri pakan unggas mengalami penurunan. Idealnya, kecukupan jagung selama dua bulan, namun saat ini tingkat kecukupan mengalami penurunan sejak Januari 2021.
Ketua Umum GPMT, Desianto Budi Utomo, mengatakan, kecukupan jagung pada Januari hanya 35 hari, kemudian menurun pada Februari 33 hari serta Maret hanya 32 hari.
Sementara, pada puncak panen raya di bulan Maret-April 2021, harga jagung lokal terus melambung. Seperti misalnya di Sumatera utara yang menyentuh Rp 6.100 per kg dengan kadar air 15 persen.
Akibat melemahnya kecukupan jagung, harga pakan saat ini meningkat dengan kisaran harga Rp 7.000 per kg-Rp 7.800 per kg.
"Dalam menghadapi situasi harga bahan baku utama pembuatan pakan baik bahan baku jagung lokal maupun impor seperti MBM dan SBM yang terus meningkat, para produsen pakan anggota GPMT berusaha keras untuk terus membantu para peternak untuk tetap bisa bertahan kelangsungan usahanya," kata Desianto dalam keterangan resminya, Rabu (21/4).
Ia menerangkan, saat ini rata-rata penyerapan jagung dari anggota GPMT adalah dibawah 7 juta ton per tahun. Pada 2019 sebesar 6,6 juta ton dan tahun 2020 sebesar 6,5 juta ton, dengan asumsi pemakaian jagung dalam formula pakan adalah sebesar 40 persen saja.
Padahal, pemakaian jagung untuk beberapa jenis pakan idealnya rata-rata 50 persen, bahkan untuk jenis pakan tertentu pemakaian jagung dalam formula pakan bisa lebih dari 50 persen.
Terkait wacana pemerintah untuk importasi pakan, ia mengatakan, secara nasional pabrik pakan Indonesia masih memiliki idle capacity terpasang sekitar 35 persen. Dampak importasi pakan akan sangat masif terhadap industri pakan nasional yang sudah lebih dari 50 tahun swasembada pakan.
"Multiplier effects dari importasi pakan terhadap industri bisa meluas ke sub sektor lainnya, seperti petani jagung, peternak dan pedagang ayam, tenaga kerja budidaya ayam, anak–anak kendang, serapan katul dan bahan pakan lainnya," ujarnya.
Desianto juga mengingatkan, saat ini ada sekitar lebih dari 12 juta keluarga Petani dan Peternak yang bergantung kehidupannya pada industri pakan.