Jumat 26 Mar 2021 16:52 WIB

Aturan Buyback Saham Perusahaan Go Private Rugikan Investor

Pandemi Covid-19 membuat sejumlah emiten mengalami kesulitan keuangan.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Investor memantau perdagangan saham melalui gawainya di Jakarta (ilustrasi).
Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA
Investor memantau perdagangan saham melalui gawainya di Jakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan perusahaan terbuka yang akan menjadi perusahaan tertutup (go private) untuk melakukan pembelian kembali (buyback) saham yang beredar publik. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Bidang Pasar Modal (POJK Pengganti PP 45/1995). 

Namun POJK teranyar itu dinilai tak sejalan dengan kebijakan pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang diinisiasi Presiden Joko Widodo dan jajarannya. Analis Reliance Sekuritas, Lanjar Nafi menilai adanya kewajiban untuk buyback saham, jika dilihat dari sisi emiten justru malah merugikan. 

Baca Juga

"Karena ada kebijakan buyback, justru memberatkan emiten-emiten publik yang ingin melakukan go private. Dipastikan dari sisi emiten pasti merugi," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (26/3).

Menurutnya, saat ini banyak kasus investasi yang menjerat sejumlah institusi besar. Maka jika dilihat portfolionya, banyak saham yang terancam delisting. Hal itu terjadi karena kondisi sekarang ini sudah menjadikan bisnisnya dianggap kurang perform, atau bahkan dari jatuhnya peminat  investor untuk masuk bursa saham. 

Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menambahkan kebijakan tersebut tidak relevan dan tidak proporsional. Pemerintah pun didesak harus melakukan intervensi dengan meminta OJK mencabut aturan tersebut.

Dia beralasan pandemi Covid-19 yang penuh ketidakpastian membuat sejumlah emiten mengalami kesulitan keuangan. Adapun kondisi tersebut pun menjadi trigger makin terpuruknya perekonomian di Indonesia.

"Meski terkesan mengakomodir para investor di tengah kondisi investasi di pasar modal yang tak menentu pasca kasus Jiwasraya, namun POJK tersebut ternyata belum relevan dan tidak proporsional," ucapnya.

POJK ini bahkan dinilai sudah bertabrakan dengan program PEN yang visinya memberikan relaksasi terhadap kemudahan berinvestasi masa sulit.

”Masukan dari emiten maupun investor harus didengar karena itu suara mereka bisa dijadikan fakta agar OJK mempertimbangkan untuk meninjau atau mencabut POJK tersebut," ucapnya.

Apalagi, lanjut dia, program PEN saat ini belum optimal menjawab permasalahan ekonomi Indonesia. "Masalah ekonomi saat ini sangat kompleks sehingga PEN belum menunjukkan hasil signifikan. Jadi perlu ada terobosan baru, bukan menambah susah kondisi ekonomi emiten," katanya.

Kewajiban buyback saham publik itu berlaku bagi emiten yang melakukan penghapusan pencatatan secara sukarela (voluntary delisting) maupun yang terpaksa delisting (penghapusan pencatatan di papan bursa). Karena, perintah OJK ataupun permohonan Bursa Efek Indonesia (BEI) alias forced delisting.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement