REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produktivitas beras di Indonesia saat ini tercatat lebih tinggi dari berbagai negara produsen beras. Meski demikian, biaya produksi nyatanya juga lebih tinggi dari negara lain sehingga kurang efisien.
Rektor IPB University, Arif Satria, menjelaskan, saat ini, produktivitas beras Indonesia berkisar 5,13 ton-5,24 ton per hektare. Angka itu hanya lebih rendah di bawah produktivitas Vietnam yang mencapai 5,82 ton per hektare.
"Tetapi biaya produksi beras, Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Tidak hanya di Asia Tenggara, bahkan Asia pun kita tertinggi," ujar Arif dalam webinar yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rabu (17/2).
Alhasil, kata Arif, membuat harga beras Indonesia pun jadi lebih mahal. Berdasarkan perbandingan struktur biaya produksi beras di Asia, Indonesia menjadi yang tertinggi dibandingkan Filipina, China, India, Thailand, dan Vietnam.
Komponen termahal dari produksi beras dalam negeri adalah biaya sewa lahan dan biaya tenaga kerja. Selain itu, soal harga pupuk Indonesia yang hanya lebih murah dari India.
"Memang agak ironis, faktor sumber daya manusia kita lebih mahal dibandingkan Thailand, Vietnam, India, Filipina, dan China. Produksi tinggi tapi biaya produksi juga tinggi," kata dia.
Sebagai contoh, pada 2019 rata-rata harga beras internasional Thailand sebesar Rp 5.898 per kilogram (kg) dan Vietnam sebesar Rp 5.090 per kg, jauh lebih rendah dari harga beras Indonesia yang sebesar Rp 11.355 per kg. Disparitas itu tentunya terjadi karena perbedaan biaya produksi yang dikeluarkan dalam menghasilkan beras.
Karena itu, masalah tingginya biaya produksi masih menjadi persoalan di Indonesia yang harus ditemukan solusinya ke depan. Sebab, dengan harga yang mahal, situasi itu membuat Indonesia rawan untuk impor beras.