REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam perdagangan Rabu (17/2) sore, rupiah ditutup melemah 90 point di level Rp 14.020 dari penutupan sebelumnya di level Rp 13.920. Pelemahan ini dipicu oleh faktor-faktor eksternal yang membuat dolar AS menguat.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, penguatan tersebut terjadi seiring dengan optimisme atas pemulihan ekonomi global dari Covid-19. "Selain itu, ada kemungkinan percepatan inflasi yang mendorong imbal hasil obligasi AS," katanya dalam keterangan resmi yang diterima pada Rabu.
Pelemahan mata uang Garuda diperkirakan kembali berlanjut sampai besok. Ibrahim memproyeksikan, rupiah kemungkinan ditutup melemah tipis pada rentang Rp 14 ribu hingga Rp 14.040.
Ibrahim menjelaskan, kenaikan imbal hasil obligasi AS sendiri didorong oleh peningkatan kekhawatiran inflasi di tengah kenaikan harga energi bersama dengan prospek stimulus fiskal AS yang besar. Selain itu, terjadi pemulihan global yang memasuki tahap yang lebih solid karena peluncuran vaksin mengarah pada pembukaan kembali ekonomi.
Merujuk pada analisis ahli strategi senior Daiwa Securities, Yukio Ishizuki, Ibrahim mengatakan bahwa tren pelemahan dolar telah berakhir.
Sementara itu, laporan manufaktur Empire State Federal Reserve New York yang dirilis pada Selasa (16/2) juga melukiskan gambaran ekonomi yang optimistis. Laporan tersebut menunjukkan kenaikan dalam indeks harga yang dibayar, sehingga memicu kekhawatiran inflasi.
Dari sisi internal, penantian investor terhadap kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) untuk periode Februari juga menjadi faktor pelemahan rupiah. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDGBI) dilaksanakan dua hari sejak hari ini dengan hasilnya disampaikan pada Kamis (18/2).
Ibrahim memproyeksikan, kemungkinan besar BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,75 persen. "Hal ini dengan melihat bank sentral global yang sampai saat ini masih mempertahankan suku dalam setiap pertemuannya," ujarnya dalam keterangan resmi pada Selasa (16/2).