Selasa 09 Feb 2021 01:44 WIB

BPJS Watch Sarankan Ini Agar BPJS Kesehatan Tetap Surplus

BPJS Kesehatan mengalami surplus sebesar Rp 18,7 triliun.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Petugas melayani peserta BPJS Kesehatan (ilustrasi). Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika
Petugas melayani peserta BPJS Kesehatan (ilustrasi). Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BPJS Watch menyambut baik catatan positif BPJS Kesehatan yang surplus Rp 18,73 triliun pada 2020. Ketua Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyampaikan surplus ini dikontribusi oleh kenaikan iuran sebesar Rp 27,96 triliun.

"Kenaikan besarnya ini dari kenaikan iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN sebesar Rp 12,84 triliun dan PBI APBD sebesar Rp 3,54 triliun, demikian juga Peserta Penerima Upah Badan Usaha (PPU BU) naik Rp 5 triliun," katanya dalam Public Expose BPJS Kesehatan, Senin (8/2).

Baca Juga

Menurutnya, surplus ini juga dikontribusi oleh turunnya biaya manfaat karena kunjungan ke RS turun sebesar 17.055.836 kunjungan sehingga terjadi penurunan biaya manfaat sebesar Rp12,94 triliun. Dengan kondisi tersebut maka aset bersih akhir periode menjadi minus Rp 6,4 triliun, turun drastis dari minus Rp 50,99 triliun di 2019.

Ia berharap hal baik tersebut dapat terus ditingkatkan oleh direksi baru nantinya secara sistemik. Lebih lanjut ia menyebut penerimaan iuran sistemik yaitu dengan meningkatkan kepesertaan yang saat ini 222 juta menjadi 270 juta penduduk Indonesia.

"Tentu sekarang sudah bagus ya mencapai 80 persen, tapi tetap harus ditingkatkan," katanya.

Ini termasuk meningkatkan kepesertaan PPU BU yang saat ini baru sebanyak 16.786.051 pekerja. Dengan jumlah pekerja swasta formal sebanyak 43 juta maka PPU BU masih berpotensi besar.

Demikian juga dengan Penerima Bantuan Penerima Upah (PBPU) lainnya yang masih banyak menunggak, itu pun harus ditagih karena tunggakan iuran di akhir 2020 sebesar Rp 15,32 triliun dari 15.819.921 peserta PBPU. Timboel mengatakan BPJS Kesehatan harus juga melihat potensi dari segi preventif.

Dari sisi pembiayaan, rasio rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) harus diturunkan. Menurutnya, saat ini nilainya masih besar yaitu 14,2 persen, seharusnya bisa diturunkan jadi satu digit sehingga biaya CBG dapat dikendalikan.

Selain itu yang tak kalah penting yaitu koordinasi manfaat layanan juga harus ditingkatkan dengan PT. Taspen, Asabri, BPjamsostek dan Jasa Raharja yaitu dengan merevisi Permenkeu 141 tahun 2018. Menurutnya, saat ini masih belum jelas posisi dari masing-masing jaminan kesehatan tersebut.

Kemudian, perlunya BPJS Kesehatan dalam meningkatkan layanan sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga sentuhan digital harus segera diprioritaskan. Misal dengan platform telemedicine agar peserta JKN tetap terkontrol kesehatannya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement