REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof Ari Purbayanto menilai, keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghentikan ekspor benur sebagai langkah yang tepat. Pasalnya, jika dibiarkan, persoalan yang timbul akibat kebijakan tersebut akan sulit untuk diselesaikan.
"Keputusan penghentian sementara ekspor BBL (benur) dapat dipandang tepat karena bila tidak dihentikan, dugaan monopoli ekspor dan permasalahan tata niaga BBL di lapangan akan menjadi bertambah kompleks dan bahkan pada akhirnya sulit diselesaikan," kata Ari saat dihubungi, Jumat (8/1).
Ari sepakat dengan pendapat yang menyatakan BBL tergolong tinggi dibanding negara-negara lain di dunia. Namun, jika itu tidak dikelola dengan baik, mulai dari penetapan jumlah tangkapan yang diizinkan, termasuk jumlah alokasi penangkapan, stoknya yang melimpah dapat dengan cepat terkuras habis.
Dia mengingatkan, kebijakan itu sudah diatur dalam PermenKP Nomor 12 tahun 2020. Aturan ini, kata dia, sudah mengatur mengenai hal tersebut, yang salah satunya eksportir wajib melakukan usaha budidaya lobster sebagai syarat sebelum izin ekspor.
"Pada kenyataannya tidak demikian. Budidaya belum atau tidak dilakukan atau dilakukan hanya untuk memenuhi syarat memperoleh izin. Jadi kegiatan budidaya BBL ini belum dilakukan secara serius apalagi masif. Sehingga BBL yang dibeli dari nelayan sebagian besar diekpor," kata dia.
Karena itu, dia mengatakan, tata kelola soal BBL yang baik sudah seharusnya dilakukan, salah satunya dengan membangun kemitraan yang saling menguntungkan antara eksportir atau industri budidaya dengan nelayan. Itu bisa dilakukan di antaranya melalui koperasi atau Kelompok Usaha Bersama (KUB).
"Mekanisme ini sebenarnya sudah diarahkan dalam kebijakan KKP. Di mana eksportir tidak hanya membeli BBL dari nelayan melalui KUB untuk diekspor atau dibudidayakan, tetapi juga melakukan pembinaan termasuk perikatan kerja sama dengan nelayan melalui KUB. Ini yang belum terjadi," kata dia.