REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan cukai hasil tembakau atau rokok hingga November 2020 mencapai Rp 146 triliun atau tumbuh 9,74 persen jika dibandingkan periode sama tahun lalu mencapai Rp 133,08 triliun.
“Cukai hasil tembakau masih menunjukkan growth yang cukup kuat,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam jumpa pers virtual realisasi APBN hingga November 2020 di Jakarta, Senin (21/12).
Menkeu mengungkapkan realisasi cukai rokok itu mencapai 88,53 persen dari target sesuai Perpres 72 tahun 2020 mencapai Rp 164,94 triliun. Adapun cukai hasil tembakau (CHT) memegang porsi yang paling besar dalam jenis penerimaan cukai dengan target Rp 172,20 triliun.
Sri Mulyani menambahkan penerimaan cukai hasil tembakau itu didorong efek kenaikan tarif ketika produksi menurun 10,2 persen, dari tahun 2019 mencapai 317,67 miliar batang menjadi 285,38 miliar batang pada 2020.
Meski produksi menurun, namun penerimaan masih tumbuh di antaranya karena penegakan hukum terhadap produk hasil tembakau ilegal dan peningkatan pemesanan pita cukai pada kuartal IV-2020 sebagai antisipasi pabrik rokok terhadap pemulihan aktivitas akhir tahun. Dalam paparannya, Menkeu menjelaskan seiring penerimaan cukai hasil tembakau yang positif, maka besaran dana bagi hasil (DBH) juga meningkat.
Tahun ini, DBH cukai hasil rokok dan pajak rokok masing-masing sebesar Rp 3,3 triliun dan Rp 16,9 triliun. Adapun besaran tarif pajak rokok adalah 10 persen dari cukai rokok dan besaran DBH adalah dua persen dari penerimaan cukai hasil tembakau tahun sebelumnya.
Dengan perkiraan capaian cukai hasil tembakau tahun ini yang mencapai Rp 169,12 triliun, maka DBH cukai hasil tembakau tahun 2021 diperkirakan mencapai Rp 3,38 triliun. Pemerintah akan mengoptimalkan pemanfaatan DBH cukai hasil tembakau dan pajak rokok ke depan dengan alokasi 25 persen untuk kesehatan, 50 persen untuk kesejahteraan masyarakat yakni petani, buruh tani tembakau dan buruh rokok dan 25 persen untuk penegakan hukum.