REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin menyebutkan, risiko fiskal Indonesia secara jangka panjang masih tetap terjaga meskipun pertumbuhan utang luar negeri pada tahun lalu mencapai enam persen secara tahunan (year on year/yoy). Sebab, porsi utang valuta asing masih terjaga dan profil jatuh tempo utang masih terbilang aman.
Masyita menuturkan, per 31 Agustus 2020, porsi utang valuta asing Indonesia masih terjaga di kisaran 29 persen. "Sehingga, risiko nilai tukar lebih manageable," tuturnya, ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (13/10).
Selain itu, Masyita menambahkan, profil jatuh tempo utang pemerintah juga masuk dalam kategori aman dengan ATM 8,6 tahun per Agustus 2020. Level itu turun dibandingkan dua tahun terakhir yang masing-masing mencapai 8,4 tahun pada 2018 dan 8,5 tahun pada 2019.
Tapi, Masyita memastikan, pemerintah tetap akan memitigasi risiko fiskal akibat utang, terutama pada portofolio utang. Berbagai strategi aktif juga terus dilakukan meliputi buyback, debt switch dan konversi pinjaman.
Secara umum, pemerintah juga terus melakukan pengembangan pasar domestik. Di antaranya dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) ritel, pengembangan instrumen dan infrastruktur pasar SBN. "Manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo utang pun terus dilakukan," kata Masyita.
Pada tahun lalu, utang luar negeri Indonesia tercatat mencapai 402,08 miliar dolar AS atau sekitar Rp 5.900 triliun dengan nilai tukar Rp 14.732 per dolar AS. Data ini tercatat dalam laporan Statistik Utang Internasional yang dirilis Bank Dunia pada Senin (12/10).
Dalam laporan itu, Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu. Dengan mengecualikan Cina, Indonesia berada pada peringkat keenam, di bawah Brazil, India, Meksiko, Rusia dan Turki.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus menjelaskan, jumlah yang dipaparkan Bank Dunia memang terlihat besar. Tapi, data itu tidak hanya menunjukkan gambarna utang pemerintah. "Termasuk data utang luar negeri swasta juga, jadi kelihatan besar," ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, Yustinus memastikan, risiko fiskal pemerintah masih tetap terjaga dengan baik. Hal ini terlihat dari dominasi surat utang pada pembiayaan Indonesia yang menggambarkan, para investor masih melihat kondisi fiskal Indonesia dalam situasi baik.
Merujuk pada data Bank Dunia, sebagian besar utang luar negeri Indonesia pada tahun lalu berasal dari penerbitan surat utang. Besarannya mencapai 173,2 miliar dolar AS, tumbuh lebih dari 500 persen dibandingkan 2009, 25,8 miliar dolar AS.
"Struktur itu sebenarnya memungkinkan agar pemerintah mendapatkan pembiayaan yang lebih banyak dari pasar atau investor dibandingkan pembiayaan dari kreditor yang terbatas," ucap Yustinus.