REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT MRT Jakarta berencana mengandalkan pendapatan nontiket atau non-fare box dapat mendominasi dalam menjalankan bisnis. Direktur Utama MRT Jakarta, William Sabandar, mengatakan, nantinya perbandingan antara pendapatan yang berasal dari bisnis nontiket dengan tiket adalah 4:1.
"Kami mengatakan ini bukan berarti bisnis fare box (penjualan tiket) tidak penting. Ini sangat penting, tapi ini dilakukan untuk mencegah bisnis collapse. Dengan tidak hanya mengandalkan pada ridership (penumpang) maka kita paling tidak bisa mempertahankan bisnis fare box. Kalau untuk 2020 dengan perbandingan 4:1 estimasinya pemasukan dari fare box 20 persen dan 80 persennya itu kita dapat dari non fare box," ujar William dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh MRT Jakarta, Rabu (30/9).
Pengembangan bisnis yang tidak bergantung pada penjualan tiket layanan kereta yang sudah direalisasikan MRT Jakarta mulai dari mengoptimalkan media sosial, situs, dan kawasan stasiun sebagai media untuk beriklan para sponsor yang tertarik bekerjasama dengan MRT Jakarta. Pihaknya juga menyediakan lokasi bagi UMKM atau pun ritel untuk berdagang di seputar kawasan MRT Jakarta.
MRT Jakarta juga saat ini tengah menyiapkan ruang yang dapat disewa oleh warga Jakarta untuk bekerja dengan konsep 'coworking space' atau ruang kerja bersama. Pengembangan kawasan berbasis transit atau Transit Oriented Development (TOD) juga saat ini dalam proses untuk direalisasikan dengan target TOD di lima stasiun yaitu Lebak Bulus,Fatmawati, Blok M-Sisingamangaraja, Istora-Senayan, dan Dukuh Atas.
"Jadi prinsipnya harus berkolaborasi. Hampir sebagian besar bisnis menderita di masa pandemi seperti ini. Oleh sebab itu, dalam situasi seperti ini kita justru mencari dan mengajak mitra berkolaborasi. Karena di masa krisis ini tidak ada kegiatan, yang tidak kita kerjakan secara kolaborasi," kata William.