REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong Badan Perkreditan Rakyat (BPR) untuk mendigitalisasi layanan jasa keuangan. Langkah ini perlu dilakukan agar BPR tidak ditinggalkan oleh para nasabahnya.
Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar mengatakan saat ini sekitar lima sampai sepuluh persen BPR yang menggunakan layanan transaksi secara elektronik. “Jika bank umum banyak melakukan penutupan kantor cabang, sebaliknya jumlah kantor cabang BPR masih tetap ada. Hal ini karena BPR belum mampu optimal dan efektif melakukan transaksi secara digital,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (10/9).
Menurutnya sejak 2012 jumlah penutupan kantor cabang bank umum mengalami peningkatan. Sedangkan jumlah pembukaan ATM BPR semakin menurun.
“Saat ini banyak bank umum melakukan transaksi secara elektronik mengikuti tuntunan kebutuhan nasabah. Ada sekitar 70-80 persen transaksi bank umum dilakukan secara elektronik,” ucapnya.
Secara kinerja, menurutnya perkembangan BPR meningkat dari tahun ke tahun. Namun, dalam waktu yang cukup panjang, perkembangan kinerja BPR cenderung stagnan.
"Semestinya ini menjadi pertimbangan bagaimana agar tidak stagnan. Tentu saja perlu ada perubahan pada bisnis model dan proses bisnisnya," ucapnya.
Menurutnya kehadiran BPR yang terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali menjadi tantangan di tengah BPR yang belum optimal dalam layanan digital.
“Pada era digitalisasi, ini tidak efektif. Selain biaya besar, disisi lain banyak nasabah yang sudah lebih teredukasi dan memiliki kebutuhan yang sudah lebih luas akan berpindah ke fintech, peer to peer, maupun payment," ucapnya.