REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Akhmad Akbar mengatakan resesi saat ini berbeda dengan keadaan tahun 1998. Pada saat itu, krisis ekonomi berpusat di sektor keuangan. Namun saat ini, berpusat kepada sektor riil akibat imbas dari pandemi Covid-19.
Akhmad mengatakan mengubah Undang Undang BI, OJK dan LPS, tidak menunjukkan semangat mengatasi Covid-19. "Kemudian, ketika dilakukan perubahan ketiga lembaga ini, tidak ada jaminan akan membuat situasi lebih bagus,” ujarnya dalam siaran pers, Senin (31/8).
Dia mengingatkan kembali, pada masa lalu, sebelum OJK dibentuk, pengawasan masih dilakukan Bank Indonesia, ada kehilangan besar dari kasus BLBI, Bank Century. Jadi, jika tidak hati-hati dalam memutuskan kebijakan, bisa menimbulkan masalah baru.
Senada dengan itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto mengatakan langkah memperbaiki lembaga, penting pada saat situasi normal dan sektor keuangan relatif stabil.
Menurutnya, saat ini sebaiknya Presiden Joko Widodo tidak melakukan perubahan mendasar pada BI dan OJK dalam kondisi sektor riil yang tidak stabil saat ini. Apalagi, persoalan ekonomi yang terjadi saat ini adalah krisis kesehatan, bukan krisis keuangan.
“Jika dipaksakan, bisa terjadi krisis keuangan baru, yang terjadi bukan karena goncangan di pasar uang dan saham, tetapi karena utak atik lembaga moneter dan keuangan,” ujar Eko.
Keberadaan BI dan OJK, jelasnya, saat ini stabil dan sudah mendapatkan kepercayaan pasar. Jika diubah saat ini, maka ada ada penyesuaian besar-besaran pada pelaku industri keuangan, sehingga bisa menimbulkan gejolak keuangan baru.
Di sisi lain, Ekonom Senior, Aviliani mengemukakan Pemerintah jangan terlalu banyak mewacanakan perubahan pada saat ini karena bisa menunda investasi. Investor akan memilih menunggu kepastian regulasi. Setelah ada, mereka juga masih membutuhkan waktu untuk melakukan penyesuaian.
“Saat ini, OJK sedang sibuk memberaskan bank, BI sibuk mengelola ikuiditas, Pemerintah defisit di atas tiga persen masalah belanja belum terserap. Di lapangan, apapun kebijakan yang diberikan jika tidak ada permintaan kredit tidak jalan,” jelas Aviliani.
Ketiga lembaga itu, jelasnya, sedang berusaha membuktikan semaksimal mungkin perannya dalam perekonomian di masa pandemi ini. Sehingga, jika diterbitkan PERPPU untuk mengubah lembaganya, maka sama sekali bukan waktu yang tepat saat ini.
Langkah OJK melakukan relaksasi melalui restrukturisasi kedit perbankan dan pembiayaan leasing dinilai sudah tepat. Kebijakan itu membantu debitur karena bisa terbebas dari cicilan dan jatuh tempo setidaknya dua tahun ke depan.
Dari sisi perbankan juga cukup meringankan karena dapat mengurangi potensi kredit macet atau non performing loan (NPL), sehingga bank tidak perlu menambah dana cadangan. Kebijakan ini dinilai efektif mengamankan modal perbankan dan tetap sehat, meskipun sedang dalam pandemi Covid-19.
“Selain itu, kebijakan Pemerintah mensubsidi bunga 3,5 persen dan menjamin 80 persen kredit juga dinilai dapat membantu pemulihan ekonomi nasional,” jelasnya.