Kamis 13 Aug 2020 13:56 WIB

Indonesia Disarankan tak Lakukan Proteksi Dagang

Banyak negara yang memberlakukan proteksi dagang.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor impor
Foto: Republik
Ekspor impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan menyarankan agar pemerintah tidak mengambil langkah proteksionisme dagang secara masif seperti yang dilakukan banyak negara saat ini. Menurutnya, proteksi dagang tanpa perencanaan matang bakal menyulitkan Indonesia untuk memenuhi barang-barang pokok yang selama ini perlu tambahan impor.

"Merespons pola perdagangan global yang cenderung proteksioni, sebaikanya pemerintah menghindari perilaku serupa khususnya yang terkait impor bahan pangan, bahan baku indusri, serta alat-alat kesehatan," kata Pingkan dalam Webinar CIPS, Kamis (13/8).

Baca Juga

Ia menuturkan, banyaknya proteksionisme dagang saat ini menyebabkan adanya disrupsi berdagangan global. Contoh proteksionis yang banyak dilakukan dengan pemberlakuan tarif bea masuk, kewajiban lisensi impor dari negara mitra dagang, serta hambatan teknis dan tindakan sanitasi serta fitosanitasi.

"Intinya hangan sampai proteksionisme yang kita lakukan juga itu bisa kembali menyerang kita," kata Pingkan.

Lebih lanjut, Pingkan mengatakan, yang perlu didorong adalah kerja sama perdagangan serta implementasi dari perjanjian dagang itu sendiri. Ia mengatakan, punya banyak perjanjian dagang saja tidak cukup. Perlu langkah strategis untuk bisa mengoptimalisasi manfaat.

Namun, untuk bisa mengoptimalisasi manfaat perjanjian dagang, banyak yang perlu dibenahi oleh para pelaku usaha di Indonesia, terutama UMKM. Sedikitnya ada enam hal yang harus difokuskan bersama.

Di antaranya kualitas produk, branding, sistem logistik, sistem pembayaran, ketersediaan bahan baku, hingga kegiatan busines matching antar pelaku usaha dari masing-masing negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement