REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan, ancaman resesi sudah di depan mata meskipun pemerintah sudah mulai membuka aktivitas ekonomi sejak Juni. Apabila benar terjadi, ini akan menjadi resesi ekonomi pertama sejak 1998.
Secara teknikal, resesi merupakan kondisi suatu negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut. Pertumbuhan tersebut dilihat berdasarkan tahunan atau dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu (year on year/yoy).
Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal menyebutkan, sampai dengan saat ini, Indonesia memang masih belum masuk ke kategori resesi. Sebab, meskipun mengalami kontraksi 5,32 persen pada kuartal kedua, ekonomi Indonesia masih tumbuh positif 2,97 persen pada periode kuartal pertama.
Tapi, Faisal memperkirakan, resesi baru akan terjadi pada periode Juli sampai dengan September atau kuartal ketiga. "Walau saat ini memang belum masuk resesi, tapi kita perkirakan kontraksi ekonomi terjadi pada kuartal kedua dan ketiga," katanya dalam diskusi online bertajuk CORE Mid Year Review 2020, Rabu (21/7).
Faisal mengatakan, kondisi tersebut sangat dimengerti mengingat pertambahan jumlah kasus di Indonesia yang terus meningkat. Tren ini terus terjadi bahkan sejak New Normal diterapkan pada bulan lalu.
Secara keseluruhan, Faisal menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 akan mengalami kontraksi 1,5 persen hingga tiga persen. Skenarionya masih sangat tergantung pada penanganan pandemi Covid-19 dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pertumbuhan akan minus 1,5 persen apabila puncak pandemi Covid-19 terjadi pada kuartal ketiga dan pemerintah tidak memberlakukan kembali PSBB. Tapi, jika kasus baru Covid-19 terus meningkat, bahkan sampai kuartal keempat, yang ditambah dengan pemberlakuan kembali PSBB, maka kontraksi akan semakin dalam hingga tiga persen.
Krisis kali ini terutama dikarenakan adanya kontraksi terhadap sisi permintaan, berbeda dengan kekhawatiran pada awal pandemi Covid-19, yaitu gangguan pada sisi ketersediaan.
Pelemahan demand terlihat jelas pada indikator indeks penjualan riil yang menggambarkan sektor riil di Indonesia. Indikatornya mengalami kontraksi sangat tajam, sejak wabah terjadi, yakni sekitar minus 16 persen. Bahkan, pada Mei, tingkatnya sampai menyentuh minus 20,6 persen.
Ketika new normal diberlakukan, sempat diprediksi indeks penjualan riil ini akan membaik. Tapi, Faisal mengatakan, realisasinya akan sangat sulit mengingat banyak orang masih menahan konsumsi. "Kontraksinya tetap double digit, kita prediksi di angka minus 14 persen," ujarnya.
Peluang resesi juga disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia tidak menampik adanya kemungkinan perekonomian Indonesia pada kuartal ketiga kembali tumbuh negatif mengingat kontraksi yang sangat dalam pada kuartal kedua. Di sisi lain, banyak sektor yang ikut tertekan dan sulit untuk kembali ke situasi baik.
"Memang probabilitas negatif (pada kuartal ketiga) masih ada karena penurunan sektor tidak bisa segera cepat pulih," ucap Sri dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (5/8).
Tapi, Sri memastikan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi resesi dan kemungkinan dampaknya ke masyarakat. Tidak hanya otoritas fiskal, Sri turut menekankan keterlibatan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjaminan Simpanan dalam mendorong perekonomian.