REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memastikan, bantuan sosial (bansos) produktif untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam bentuk dana hibah modal kerja sebesar Rp 2,4 juta per pengusaha akan dikucurkan pada bulan ini. Fasilitas tersebut akan diberikan kepada 12 juta pelaku UMKM, terutama usaha mikro dan ultra mikro, yang belum memiliki akses perbankan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah kini sedang melakukan pengumpulan data dan verifikasi untuk menentukan pelaku usaha yang memang berhak dan layak mendapatkan bansos produktif.
"Mungkin pada saat atau sesudah 17 Agustus nanti, (diluncurkan) oleh Pak Presiden (Joko Widodo) atau Menteri terkait," tuturnya dalam Webinar Stimulus Pemerintah untuk Memperkuat UMKM, Selasa (11/8).
Sri menjelaskan, pemerintah akan menggunakan data di Kementerian Koperasi dan UKM yang dipadukan bersama data perbankan. Khususnya bank-bank yang selama ini banyak berinteraksi dengan pengusaha ultra mikro, seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero).
Selain itu, pemerintah juga akan memanfaatkan data dari lembaga penyalur pinjaman non perbankan yang sudah memiliki program kredit. Misalnya, dari PT Pegadaian (Persero), koperasi-koperasi maupun PT Permodalan Nasional Madani (PNM) melalui program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) yang secara total memiliki lebih dari 13 juta debitur.
Berdasarkan data tersebut, Sri mengatakan, pemerintah akan menentukan kriteria pengusaha yang layak menerima bansos produktif. Proses ini yang menjadi perhatian pemerintah agar bantuan bisa diberikan tepat sasaran. "Karena, pada akhirnya, dana dari program ini akan diaudit oleh auditor eksternal seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," ujarnya.
Sri mengakui, tantangan terbesar dalam menjalankan bansos produktif adalah cleansing data. Apabila bantuan diberikan secara masif, namun verifikasi data belum rampung dan consolidated, maka terjadi ketidakadilan. Di satu sisi, ada pihak yang mendapatkan satu atau dua bantuan pemerintah sekaligus, namun ada juga yang belum menerima bantuan sama sekali.
Kekisruhan ini disebutkan Sri sudah terjadi pada program bantuan sosial eksisting yang kini menjangkau 29 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial tidak sesuai dengan realita di masyarakat atau terjadi deviasi.
Saat ditelisik, Sri menjelaskan, DTKS ternyata belum diperbaharui sejak 2015. Penyebabnya, banyak pemerintah daerah yang belum memberikan data terbaru mengenai kondisi sosial dan ekonomi warganya. "Tidak semua lakukan updating, sampai kemudian terjadi Covid di 2020 yang membutuhkan data lebih baru," katanya.