REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Bertepatan dengan Hari Mangrove Sedunia, Himpunan Mahasiswa Departemen Silvikultur (Tree Grower Community), Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University menggelar Webinar Aksi Mangrove 2020 pada Ahad (26/7) lalu. Dalam kesempatan ini, Prof Dr Cecep Kusmana, dosen IPB University dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan mengatakan bahwa sebanyak 250 kabupaten dan kota di Indonesia memiliki ekosistem mangrove.
Kerusakan yang terjadi pada ekosistem mangrove, menurut Prof Cecep, utamanya disebabkan penebangan, bencana alam, polusi air oleh sampah dan konversi hutan. Pemeliharaan ekosistem mangrove tentunya sangat perlu dilakukan karena ekosistem mangrove menyediakan berbagai sumberdaya yang berasal dari flora maupun fauna dan berperan sebagai sistem penyangga kehidupan.
“Hutan mangrove sangat berpotensi menjadi lumbung pangan bagi masyarakat pesisir. Hal itu dikarenakan banyak produk hasil olahan mangrove yang dapat diolah oleh masyarakat. Memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dalam pengelolaan ekosistem mangrove akan berdampak besar bagi lingkungan pesisir karena dengan sendirinya masyarakat akan sadar tentang pentingnya menjaga ekosistem mangrove bagi kelestarian lingkungan dan sosial di daerah pesisir,” ujar Prof Cecep dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia menjelaskan, salah satu peran ekosistem mangrove yaitu sebagai penyimpan karbon. Mangrove dapat menyimpan karbon 3-5 kali lebih banyak dibandingkan hutan tropis dataran rendah yang tersimpan dalam sedimennya. “Karena itu ekosistem mangrove berperan besar dalam pengendalian iklim global,” ujarnya.
Pemanfaatan ekosistem mangrove sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan agar ekosistem tetap terjaga. “Contohnya dengan menerapkan sistem silvofishery, sylvo-fishery-pastoral, dan agro-sylvo-fishery-pastoral,” tuturnya.
Ketua KeMANGTEER Jakarta, Citra Wijaya Kusuma menyampaikan materi terkait dengan olahan mangrove khususnya mangrove di pesisir Jakarta. Menurutnya, pohon mangrove juga ternyata menghasilkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa buah yang dapat diolah menjadi berbagai produk seperti kerupuk, kue bolu, peyek, dodol dan sirup. Beberapa spesies mangrove yang dapat dimanfaatkan buahnya yaitu lindur (Bruguiera gymnorrhiza), api-api (Avicennia officinalis), dan pidada (Sonneratia caseolaris).
Sementara itu, buah lindur dan api-api diolah sebagai bahan baku dasar berupa tepung yang kemudian dapat diolah kembali menjadi berbagai macam makanan. “Sedangkan buah pidada dapat langsung dimanfaatkan dagingnya untuk diolah menjadi sirup, jus, atau dodol,’ paparnya.
Citra menambahkan, buah lindur dan pidada diketahui mengandung zat tanin yang cukup tinggi sehingga buah perlu mengalami beberapa proses sebelum diolah menjadi makanan. Namun zat tanin yang dihasilkan mangrove pun memiliki manfaat, yaitu sebagai pewarna batik.
Ia mengungkapkan, upaya untuk mengenalkan produk mangrove kepada masyarakat di luar daerah pesisir itu cukup sulit. Ini dikarenakan masyarakat yang tinggal di luar wilayah pesisir tidak mengetahui akan pentingnya ekosistem mangrove untuk wilayah pesisir. “Sehingga, tugas kita bersama untuk terus mengkampanyekan produk olahan mangrove agar masyarakat umum dapat mengetahui pentingnya hutan mangrove bagi masyarakat pesisir,” ujar Citra.
Pada kesempatan ini, Ir Asep Sugiharta, MSc, direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membahas tentang strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan. Karena mangrove merupakan ekosistem esensial yang sangat penting dan rentan akan kerusakan maka diperlukan pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Terbitnya Kepres No 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove menjadi salah satu payung hukum dalam mengelola sumberdaya hayati dan ekosistemnya.
Substansinya, kata dia, yaitu cara mengelola sumberdaya mangrove secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekologi dan sosial ekonomi. Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan mangrove berkelanjutan, yaitu pengelolaan berbasis fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengelolaan berbasis pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pengelolaan berbasis fungsi pemanfaatan secara lestari keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta partisipasi masyarakat dalam bentuk kemitraan konservasi.
Menurutnya, pada dasarnya strategi konservasi yang utama yaitu menjaga keutuhan ekosistem, apabila telah terjadi kerusakan barulah dilakukan pemulihan. Keberhasilan pengelolaan kawasan esensial dapat dicirikan dengan terlaksananya perlindungan, adanya pengawetan, adanya pemulihan ekosistem dan terlaksananya pengelolaan pemanfaatan secara lestari.
“Pada tahun depan insya Allah akan digarap undang-undang mengenai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Undang-undang ini bertujuan untuk menjaga ekosistem mangrove yang berada di luar kawasan konservasi agar tidak terjadi degradasi atau alih fungsi kawasan, sehingga ekosistem mangrove di Indonesia akan terjaga dan dikelola dengan prinsip kelestarian” ujarnya.
Asep menegaskan, ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang patut untuk dijaga bersama. Tidak hanya oleh masyarakat dekat pesisir namun juga oleh masyarakat yang jauh dari daerah pesisir. “Dengan mengetahui manfaat yang didapat dari keberadaan mangrove, baik secara ekologi maupun ekonomi, maka masyarakat dapat lebih peduli pada kondisi ekosistem mangrove dan dapat tergerak untuk melakukan konservasi ekosistem mangrove,” paparnya.