REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Eksistensi BUMN sebagai pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional tidak lain adalah bentuk kehadiran negara dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat yang merupakan amanat konstitusi. Demikian disampaikan dosen Universitas Hasanuddin Makassar dan pemerhati BUMN Dr. Muhammad Aswan.
Dia menambahkan, dasar ontologis didirikannya BUMN juga dapat ditemukan dalam pandangan W. Friedmann bahwa terdapat empat fungsi negara, yaitu selain sebagai provider, regulator, dan umpire, negara juga berfungsi sebagai enterpreneur.
Ia mengatakan, pandangan lain yang juga menjustifkasi kehadiran negara melalui BUMN adalah David Osborne dan Ted Gaebler dalam Reinventing Government : How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector yang menyebutkan sepuluh model dalam menjalankan pemerintahan di mana salah satunya adalah model enterprising government.
"Saat ini kementerian BUMN yang dipimpin oleh Erick Thohir (ET)dengan background enterpreneur, sehingga sudah pada tempatnya untuk berharap BUMN akan dikelola lebih canggih dan akan berkontribusi signifikan dalam penerimaan negara, dengan demikian akan semakin membuka jalan bagi pemerintah untuk mewujudkan the good of mankind," kata dia, Kamis (16/7).
Terdapat beberapa definisi tentang BUMN, kata dia, yang dapat ditemukan dalam berbagai literatur. Menurut Aswan, itu dapat disimpulkan bahwa BUMN memiliki karakteristik tersendiri yaitu sebagai badan usaha yang berdimensi enterprise dan berdimensi publik.
Secara operasional, tambah dia, dua dimensi yang terkesan kontradiktif tersebut termanifestasikan dalam sifat usaha BUMN yang memupuk keuntungan (profit oriented) dan melaksanakan fungsi sosial atau kemanfaatan umum (public utility dan public service).
"BUMN, dalam hal ini Persero, sebagai pelaku usaha yang menawarkan barang dan/atau jasa tentunya harus tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat (antitrust law). Meskipun terdapat ketentuan dalam Pasal 51 UU a quo yang memberi peluang kepada BUMN untuk melakukan monopoli, namun bukan berarti BUMN dibolehkan melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU a quo membedakan istilah monopoli dan praktek monopoli)," papar dia.
Dia mengatakan, tujuan antitrust law adalah untuk mewujudkan efficiency dan economic welfare. Hal tersebut, kata dia, tentu penting untuk menjadi concern BUMN agar tidak menjadi penyebab terdistorsinya pasar yang akan berimplikasi pada perekonomian nasional secara makro.
Aswan mengatakan, isu-isu dalam antitrust law yang harus menjadi perhatian BUMN adalah perilaku kartel (perjanjian oligopoli, price fixing, predatory pricing, market division, boycott, penguasaan pasar, dan bid rigging), jabatan rangkap, merger, akuisisi, dan konsolidasi.
"Kita berharap dan seyogianya mendukung Erick Thohir dalam memimpin Kementerian BUMN agar dapat membawa perusahaan-perusahaan negara efisien dalam kegiatan usahanya sehingga akan terwujud economic welfare sebagaimana dimanatkan UU No. 5 Tahun 1999," kata dia.