REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan, resesi menjadi sesuatu yang tidak terelakkan bagi ekonomi Indonesia tahun ini. Tekanan pada sektor riil dan keuangan akibat pandemi Covid-19 menjadi penyebab utamanya.
Piter menuturkan, ekonomi pada kuartal kedua sudah dipastikan mengalami kontraksi. Begitupun pada kuartal ketiga dan keempat yang hampir diyakini terjadi penyusutan ekonomi, walaupun dengan skala lebih kecil.
"Jadi, kalau sekarang kita ramai berbicara Singapura resesi, kita (Indonesia) juga sudah di depan mata. Kita juga akan resesi, sesuatu yang tidak akan terelakkan," katanya dalam diskusi online, Rabu (15/7).
Piter menjelaskan, pada kuartal kedua, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah diterapkan di berbagai kota di Indonesia. Aktivitas ekonomi menjadi terhambat dan banyak masyarakat mempertahankan tingkat konsumsi untuk bertahan hidup. Ekonomi Indonesia yang masih didorong konsumsi rumah tangga pun terdampak signifikan.
Pada kuartal ketiga, Piter menambahkan, wabah pandemi Covid-19 masih menjadi isu di banyak negara termasuk Indonesia. Aktivitas ekonomi pun akan terus dibatasi yang menyebabkan kegiatan perekonomian belum kembali normal, termasuk pada kuartal keempat. "Meski ada pelonggaran, minat masyarakat untuk konsumsi akan sangat rendah," ucapnya.
Tidak hanya di sektor riil, disrupsi juga terjadi pada sektor perbankan. Apabila dilihat di perbankan, Piter mengatakan, angka-angka untuk Dana Pihak Ketiga (DPK) di bawah Rp 100 juta mengalami penurunan. Artinya, kelompok menengah ke bawah sudah mulai menggunakan tabungan untuk memenuhi konsumsi.
Di sisi lain, DPK untuk di atas Rp 2 miliar justru naik. Piter mengatakan, tren tersebut menggambarkan, kelompok menengah ke atas menahan konsumsinya dan memilih untuk menyimpan uang di bank.
Dalam mengantisipasi resesi, Piter menekankan, pemerintah dan otoritas keuangan harus menaruh fokus pada dunia usaha dan sektor keuangan. Menjaga ketahanan dan keberlangsungan dunia usaha (sektor riil) sekaligus menjaga stabilitas sektor keuangan menjadi penentu keberhasilan menghindari terjadinya krisis yang semakin dalam. "Ini juga membantu kita mempersiapkan recovery yang cepat ketika wabah berlalu," katanya.
Seperti dilansir di Reuters, Selasa (14/7), Singapura jatuh ke dalam resesi pada kuartal kedua dengan kontraksi hingga 41,2 persen. Penyusutan ini lebih dalam dibandingkan ekspektasi para ekonom, minus 34,7 persen.
Singapura menjadi negara pertama di Asia yang melaporkan data PDB kuartal kedua. Kontraksi yang dialami Negeri Singa ini menggarisbawahi betapa besarnya dampak pandemi di seluruh dunia sekaligus menunjukkan tantangan besar yang harus dihadapi negara-negara lain.
"Ini (re: kontraksi) yang akan terjadi pada negara yang telah melakukan kebijakan semacam lockdown," kata Kepala Ekonom Asia Pasifik di ING Bank, Rob Carnell.
Kontraksi yang begitu dalam pada Singapura terutama dikarenakan ketergantungan mereka terhadap perdagangan luar negeri. Carnell menyebutkan, ini menjadi kelemahan bagi Singapura. Dari seluruh sektor, jasa dan konstruksi menjadi yang paling tertekan.
Pada Juni, Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan, ekonomi global akan mengalami kontraksi tajam. Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak dunia usaha menghentikan kegiatan ekonomi, masyarakat menekan konsumsi dan perdagangan harus lumpuh. IMF memperkirakan output dunia pada 2020 menyusut hingga 4,9 persen, lebih dalam dibandingkan proyeksi pada April, yakni kontraksi tiga persen.
Pandemi Covid-19 tercatat telah menginfeksi lebih dari 13 juta orang di seluruh dunia dan menewaskan hampir 573 ribu orang. Singapura sendiri telah melaporkan 46.283 kasus virus dengan 26 kematian pada Senin (13/7).