REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Kelompok 20 negara utama atau G20 harus memperpanjang masa pembekuan pembayaran utang bilateral negara-negara termiskin di dunia hingga 2021. Mereka juga patut mengurangi beban utang secara permanen mengurangi beban utang dari beberapa negara paling berutang.
Anjuran ini disampaikan Presiden Bank Dunia David Malpass, Rabu (8/7). Melalui konferensi mengenai utang G20, Malpass mengatakan, menunda pembayaran utang tidak akan menyelesaikan masalah-masalah negara yang sudah menghadapi tingkat utang tinggi sebelum pandemi Covid-19.
"Dalam kasus seperti itu, kita perlu tidak hanya mengurangi layanan utang hari ini, tapi mengurangi layanan utang besok dan secara permanen," tuturnya, seperti dilansir di Reuters, Kamis (9/7).
Malpass menyebutkan, ini akan memberikan cahaya di ujung ‘terowongan’ utang bagi negara-negara termiskin. Untuk beberapa negara paling terpukul, pengurangan stok utang negara secara sistematis adalah satu-satunya cara untuk memulai kembali ekonomi, membuat investasi baru yang profit dan menghindari jebakan kemiskinan lebih lama.
Negara-negara berkembang dan pasar berkembang menghadapi konsekuensi ekonomi mengerikan akibat pandemi. Khususnya karena mereka memiliki sistem perawatan kesehatan yang tidak memadai dan sumber daya minim untuk mengimbangi dampak pembatasan sosial berskala luas. Dalam beberapa kasus, kelompok negara ini juga harus menghadapi jatuhnya harga komoditas.
Malpass menekankan perlunya peningkatan transparansi tentang pinjaman. Ia juga mengajak semua pemberi pinjaman bilateral resmi, termasuk bank kebijakan seperti Bank Pembangunan Cina, ikut mengambil bagian.
Malpass menyebutkan, database Bank Dunia baru mengenai tingkat utang yang dirilis pada Juni akan membantu transparansi pinjaman. Basis data akan diperluas pada September, terutama pada persyaratan pinjaman termasuk suku bunga, jatuh tempo dan masa tenggang.
Inisiatif G20 harus mencakup semua utang eksternal, yang dijamin publik. Termasuk pinjaman yang dibuat oleh perusahaan milik negara, jika mereka memiliki jaminan pemerintah yang tersirat, kata Malpass.
Ia juga mengutip kekhawatiran tentang klausul kerahasiaan dalam kontrak pinjaman resmi dan instrumen menyerupai utang. Misalnya, jalur pertukaran bilateral jangka panjang yang sering digunakan sebagai sumber pendanaan oleh negara-negara seperti Mongolia.
"Komitmen kontrak jangka panjang untuk pembelian listrik juga menjadi beban berat bagi negara miskin," ujar Malpass.