Senin 13 Jul 2020 17:47 WIB

Manajemen Risiko Bank Dinilai Berjalan Baik

Akibat pandemi Covid-19, sektor riil mengalami pelambatan yang cukup tajam.

Petugas mendorong tumpukan uang di cash pooling salah satu bank BUMN di Jakarta, Senin (23/12). (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Petugas mendorong tumpukan uang di cash pooling salah satu bank BUMN di Jakarta, Senin (23/12). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manajemen risiko dan pengawasan perbankan secara keseluruhan dinilai telah berjalan cukup baik. Ini terlihat salah satunya dari indikator CAR atau Rasio Kecukupan Modal perbankan yang masih kuat di level 22,16 persen dengan rasio kredit macet (NPL) hanya 3,01 persen per Mei 2020.

Penilaian itu disampaikan pengamat perbankan dari INDEF, Eko Listiyanto, di Jakarta, Selasa (13/7). Eko menilai persoalan yang dihadapi oleh pemangku kepentingan saat ini lebih terletak pada sektor riil yang mengalami perlambatan tajam.

Padahal sektor riil ini berinterelasi dengan kinerja bank. “Sehingga stabilitas indikator kuatnya modal dan terjaganya risiko tersebut (CAR dan NPL) juga akan sangat ditentukan seberapa cepat sektor riil bangkit dari keterpurukan,” ujar Eko.

Sesuai aturan, ketentuan CAR perbankan saat ini dikaitkan dengan profil risikonya. Namun secara umum CAR perbankan berada di angka 11 persen. Dengan posisi CAR perbankan rata-rata di angka 22,16 persen per Mei 2020, ujar Eko, ini menggambarkan indikator yang masih stabil.

“Hanya saja distribusi angka 22,16 persen itu kemungkinan besar tidak merata atau sama besar antarbank, bank BUKU I dan BUKU II mungkin lebih bervariasi tetapi setidaknya tetap di atas batas yg ditetapkan OJK,” katanya.

Indikator lain yang menunjukkan ketahanan perbankan adalah pada rasio kredit bermasalah. Jika aturan menetapkan batas NPL lima persen, Eko melanjutkan, saat ini secara umum NPL perbankan berada di angka 3,01 persen. “Ini juga masih di bawah threshold OJK meskipun memang data kredit yang direstrukturisasi saat ini tidak menambah angka NPL,” ujar dia.   

Aturan CAR dan NPL itu berlaku umum, sehingga dalam situasi Covid-19 pun aturan tersebut juga masih tetap dipakai. Memang ada sedikit relaksasi sampai Maret 2021 pada aturan CAR terkait Capital Conservation Buffer dan ATMR (bagi BUKU III dan IV). "Tetapi intinya, justru Covid-19 ini menguji apakah aturan CAR dan NPL tersebut memang terbukti relevan untuk merepresentasikan stabilitas perbankan,” jelas Eko.

Menanggapi keberadaan Bank Jangkar sebagaimana diatur dalam Perpu No.1 tahun 2020 untuk antisipasi risiko sistemik industri perbankan nasional, Eko menilai program itu untuk menekan risiko bank rush atau bank run. Apalagi Bank Jangkar berisi bank-bank besar yang 51 persen saham dimiliki WNI.

“Jadi dari sisi positifnya risiko yang mungkin saja terjadi di tengah pandemi Covid-19, jika ada bank-bank bermodal cekak dan likuiditas mulai tersendat maka bisa bermitra dengan Bank Jangkar sehingga mengurangi risiko," ucap Eko menjelaskan.

Eko menambahkan, memang ada bank yang memerlukan suntikan modal. Akan tetapi sebaikanya langkah suntikan modal ini dilakukan melalui mekanisme pasar. Sebab, katanya, krisis likuiditas ini akan teratasi jika ekonomi mulai pulih. “Ekonomi akan membaik jika pandemi teratasi,” pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement