Kamis 18 Jun 2020 18:13 WIB

BKF: Tidak ada Diskon Rokok Dalam Aturan Pemerintah

Pemerintah memberikan relaksasi cukai rokok.

Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Oka Kusumawardani menegaskan tidak ada diskon rokok dalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu Peraturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37/2017. Oka menyatakan dalam peraturan yang memperbolehkan harga transaksi pasar (HTP) 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai itu merupakan bentuk relaksasi dari pemerintah.

“Perlu kita luruskan terminologinya diskon rokok ini betul tepat atau tidak. Kalau dari aturannya itu tidak ada menyebut atau dimaksudkan untuk mendiskon rokok,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (18/6).

Baca Juga

Ia menjelaskan setelah proses produksi ada beberapa jalur dalam distribusi yaitu ke wholeseller, retailer, dan terakhir ke konsumen yang pada masing-masing tahapan memerlukan biaya. Oleh sebab itu, peraturan tersebut merupakan suatu bentuk ruang gerak yang diberikan pemerintah agar proses rantai distribusi dapat berjalan dengan baik.

“Untuk bisa memungkinkan rantai distribusi berfungsi dengan baik perlu ruang gerak dan dari situ diatur harga transaksi pasar yang dimungkinkan di bawah HJE tresshold 85 persen. Tidak ada istilah diskon rokok,” tegasnya.

Oka pun meminta kepada berbagai pihak bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk mengawasi penerapan peraturan tersebut serta melakukan survei agar diketahui hal yang perlu diperbaiki. “Dalam rangka pengawasan tersebut DJBC juga melakukan survei secara rutin apakah mekanisme ini masih tepat di lapangan atau perlu penyesuaian,” katanya.

Hal itu harus dilakukan mengingat kebijakan CHT sangat berkaitan dengan bidang lainnya seperti kesehatan masyarakat yaitu penurunan prevalensi merokok yang pada akhirnya mempengaruhi perbaikan kualitas SDM hingga ketenagakerjaan.

“Kompleksitas isu yang besar ini harus ditangani secara komprehensif. Kami take note concern semua itu untuk kemudian dijadikan referensi pengambilan kebijakan ke depannya,” katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement