Kamis 11 Jun 2020 01:20 WIB

CITA: Prinsip Pajak Digital Harus Keadilan, Bukan Penerimaan

Terlalu fokus pada pendapatan negara dikhawatirkan merugikan Indonesia ke depan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Yudha Manggala P Putra
Warga mengakses layanan film daring melalui gawai di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi produk digital impor dalam bentuk barang tidak berwujud maupun jasa (streaming music, streaming film, aplikasi, games digital dan jasa daring dari luar negeri) oleh konsumen di dalam negeri mulai 1 Juli 2020
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warga mengakses layanan film daring melalui gawai di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi produk digital impor dalam bentuk barang tidak berwujud maupun jasa (streaming music, streaming film, aplikasi, games digital dan jasa daring dari luar negeri) oleh konsumen di dalam negeri mulai 1 Juli 2020

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menekankan, prinsip utama pungutan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau pajak digital adalah menciptakan keadilan (Fairness), bukan optimalisasi penerimaan. Terlalu fokus pada pendapatan negara justru dikhawatirkan dapat merugikan Indonesia ke depannya.

Pengamat pajak dari CITA Fajry Akbar mengatakan, saat ini, Indonesia memang cenderung menjadi negara konsumen jasa digital. Tapi, melihat potensi yang ada, Indonesia dapat menjadi produsen jasa digital di kemudian hari. "Jangan sampai, kebijakan yang diambil hari ini menjadi bumerang di masa mendatang," katanya dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Rabu (10/6).

Fajry menambahkan, fokus pada penerimaan hanya akan menciptakan dikotomi antara negara produsen dan negara konsumen. Salah satu dampaknya, konsensus atau kesepakatan global justru akan sulit tercapai.

Saat ini, Fajry menambahkan, isu pajak digital bukan lagi sekadar bagaimana mengatasi penghindaran pajak. Isu pemajakan atas digitalisasi ekonomi telah menjadi ajang tarik-menarik antara negara konsumen dengan negara asal perusahan digital.

Fajry menekankan, diskusi pajak digital harus menjawab pertanyaan paling fundamental, yakni alasan suatu yurisdiksi berhak untuk memajaki suatu profit yang dihasilkan oleh perusahaan digital. "Bersama-sama, kita perlu mengupayakan evidence-based solution untuk menjawab masalah itu," tuturnya.

Fajary menjelaskan, yang menjadi isu pajak digital sesungguhnya adalah digitalisasi ekonomi, bukan ekonomi digital. Digitalisasi tidak terbatas pada perusahaan digital seperti Facebook, Netflix, Spotify, dan sejenisnya.

Digitalisasi terjadi pada semua sektor, tidak terkecuali sektor manufaktur. Ke depan, bukan hanya perusahaan digital yang tak membutuhkan kehadiran fisik. Perusahaan konvensional seperti otomotif pun bisa saja tak lagi membutuhkan kehadiran fisik.

Oleh karena itu, Fajry mengingatkan, jangan sampai solusi atas masalah pajak digital ini bersifat diskriminatif dan menyasar perusahaan digital tertentu saja tanpa mempertimbangkan proses digitalisasi yang kini tengah terjadi pada hampir semua sektor. "Hal ini pun sesuai dengan arah dari OECD yang menolak untuk melakukan ring fencing," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement