Ahad 07 Jun 2020 19:15 WIB

Menhub: Kenaikan Tarif Saat New Normal Membebani Masyarakat

Padahal operator mengakomodasi protokol kesehatan butuh biaya operasional

Penumpang layanan bus bantuan gratis menunggu keberangkatan di Stasiun Sudirman, Jakarta, Jumat (15/5). Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan menyediakan bus gratis tujuan Jakarta-Bogor, Jakarta-Bekasi dan sebalikanya sebagai alternatif untuk mengurangi kepadatan penumpang KRL di tengah pemberlakuan PSBB di wilayah Jabodetabek
Foto: Prayogi/Republika
Penumpang layanan bus bantuan gratis menunggu keberangkatan di Stasiun Sudirman, Jakarta, Jumat (15/5). Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan menyediakan bus gratis tujuan Jakarta-Bogor, Jakarta-Bekasi dan sebalikanya sebagai alternatif untuk mengurangi kepadatan penumpang KRL di tengah pemberlakuan PSBB di wilayah Jabodetabek

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan tarif transportasi tidak serta merta mengalami kenaikan saat penerapan normal baru, karena itu pemerintah perlu mencari skema, baik melalui subsidi ataupun skema lainnya."Kenaikan tarif tidak serta merta bisa dilakukan karena akan membebani masyarakat, sehingga perlu adanya solusi apakah pemerintah akan menambah subsidi atau mengupayakan kebijakan lainnya," ujar Menhub dalam keterangannya di Jakarta, Ahad (7/6).

Namun, ia mengakui dalam normal baru perlu diterapkan jaga jarak (physical distancing) yang menyebabkan tingkat keterisian angkutan transportasi tidak bisa 100 persen. "Tantangan dalam melakukan adaptasi kebiasaan baru di sektor transportasi pasti ada. Dalam penerapan protokol kesehatan dan physical distancing pastinya akan berimplikasi pada meningkatnya cost operasional transportasi, karena okupansi tidak 100 persen. Ini yang harus segera kita cari solusinya," kata Menhub.

Di satu sisi, operator transportasi harus mengeluarkan dana lebih untuk mengakomodasi protokol kesehatan, namun di sisi lain pendapatan mereka berkurang akibat okupansi yang tidak bisa 100 persen.

Untuk itu, Menhub mengungkapkan perlu kolaborasi dan saling dukung dari para pemangku kepentingan, baik pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan dunia industri, perguruan tinggi, maupun organisasi masyarakat.

"Tantangan itu harus kita hadapi bersama sesuai prinsip 'berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing' sesuai dalam tradisi kegotongroyongan kita," ujar Menhub.

Saat ini, Kemenhub tengah menggandeng sejumlah universitas, yakni UGM, UI, ITB, dan ITS untuk melaksanakan sejumlah kajian yang menghasilkan policy paper dari berbagai sudut pandang sebagai bahan-bahan penyusunan kebijakan sektor transportasi menghadapi kebiasaan baru.

"Dalam kesempatan ini, kami mengajak kepada seluruh perguruan tinggi untuk terus aktif memberikan masukan kepada pemerintah dan turut serta memberikan edukasi kepada masyarakat. Peran perguruan tinggi melalui kegiatan penelitian dan pengembangan sangat penting, dalam upaya memitigasi dampak Covid-19 dan kesiapan penerapan adaptasi kebiasaan baru atau new normal," kata Menhub.

Dengan adanya pembatasan sosial dan pergerakan penumpang pada masa pandemi Covid-19, telah berdampak pada lumpuhnya aktivitas sosial ekonomi, meskipun sektor transportasi masih tetap beroperasi untuk misi-misi kemanusiaan dan mempertahankan rantai pasok logistik.

Pada April 2020, menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penumpang pesawat udara turun tajam yakni 81,7 persen, dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau turun 85 persen dibandingkan April 2019. Selain itu juga transportasi darat, laut dan kereta api juga mengalami penurunan penumpang yang signifikan.

Pemerintah tengah menyiapkan konsep tatanan kebiasaan baru, yaitu suatu konsep tentang pola hidup yang mendorong adanya perubahan perilaku masyarakat dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru yang lebih sehat, sehingga aman dari ancaman Covid-19 namun tetap bisa produktif untuk melangsungkan kegiatan ekonominya.

 

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement