REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Desakan untuk mengubah UU Telekomunikasi agar mendukung program strategis nasional sudah semakin banyak. Karena itu pemerintah melalui Kemenko Perekonomian memasukan revisi UU Telekomunikasi dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). Saat ini RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja tengah dibahas antara pemerintah dan anggota Badan Legislasi DPR.
Dalam diskusi Webinar yang diselenggarakan oleh Sobat Cyber pada Jumat (5/6), Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute mengakui UU Telekomunikasi yang saat ini berlaku merupakan UU yang sudah cukup lama dan perlu direvisi. Alasannya karena UU tersebut sudah tidak mampu memayungi teknologi telekomunikasi dan IT yang berkembang sangat cepat.
Menurut Heru RUU Cipta Kerja menjadi momentum bagi perbaikan regulasi di sektor telekomunikasi. Diharapkan dengan adanya revisi ini industri telekomunikasi nasional dapat menjadi lebih baik.
Salah satu isu yang dibahas dalam RUU Cipta Kerja adalah network sharing dan spectrum sharing. Menurut Heru network sharing dan spectrum sharing merupakan suatu keniscayaan di industri telekomunkasi, khususnya untuk menyongsong teknologi baru seperti 5G yang membutuhkan lebar pita frekuensi yang sangat besar.
Ia berpendapat, kalau memang revisi UU Telekomunikasi membutuhkan waktu yang lama, maka Omnibus Law merupakan salah satu cara untuk mempercepat perbaikan regulasi. Usia UU Telekomunikasi, kata dia, sudah lebih dari 20 tahun sedangkan spektrum sharing dan network sharing diperlukan untuk mendukung teknologi yang akan masuk ke Indonesia.
"Penyebabnya adalah untuk implementasi 5G diperlukan alokasi spektrum frekuensi minimal 100 MHz per operator. Kalau tidak sharing maka kita akan kesulitan mengembangkan 5G,” terang Heru.
Pada prinsipnya, network sharing dan spectrum sharing bisa dipergunakan di seluruh perangkat telekomunikasi yang ada. Termasuk IoT. Namun agar network sharing dan spectrum sharing dapat mendukung program strategis nasional dan meningkatkan investasi, Heru melihat sangat tepat jika network sharing dan spectrum sharing diterapkan di teknologi baru yang akan masuk ke Indonesia. Seperti 5G.
“Kebutuhan network sharing dan spectrum sharing adalah untuk teknologi baru. Untuk itu network sharing dan spectrum sharing harusnya bisa diimplementasikan di 5G,” ujar Heru pada acara diskusi Sobat Cyber.
Dengan network sharing dan spectrum sharing yang diimplementasikan di 5G Heru menilai tujuan untuk mendatangkan investasi baru ke Indonesia dan mendukung program percepatan ekonomi dapat terwujud. Untuk itu perlu ditegaskan dalam RUU Cipta Kerja agar network sharing dan spectrum sharing diterapkan di teknologi baru.
Pentingnya network sharing dan spectrum sharing di teknologi baru juga didukung oleh data yang disampaikan oleh Indra Maulana Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, yang mewakili Ahmad M. Ramli selaku Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) pada acara diskusi yang sama. Data yang disampaikan Indra menunjukan dengan jelas bahwa saat ini cakupan layanan telekomunikasi di Indonesia sudah sangat luas dan tersebar hampir di seluruh wilayah di mana masyarakat bermukim.
Dari total luas pemukiman di Indonesia yang mencapai lebih dari 44,6 juta kilometer persegi cakupan sinyal 4G sudah mencapai 43,5 kilometer persegi atau mencapai 97,51 persen sedangkan cakupan sinyal 3G sudah mencapai 43 kilometer persegi atau mencapai 96,34 persen. Sementara itu, cakupan sinyal 2G sudah mencapai 99 persen yaitu mencapai 44,23 kilometer persegi.
Berdasarkan data tersebut, wajar jika Heru menilai network sharing dan spectrum sharing idealnya hanya diimplementasikan pada teknologi baru, serta tidak diperlukan lagi untuk teknologi 2G, 3G, dan 4G yang cakupan sinyalnya telah hampir mencapai 100 persen wilayah tempat masyarakat bermukim. Tujuannya tidak lain adalah guna mendukung program strategis nasional pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan investasi di dalam negeri.