REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Merebaknya wabah Covid-19 membuat perkembangan energi baru terbarukan (EBT) terkendala. Hal ini tergambar dari konsumsi listrik dunia berbasis EBT sepanjang kuartal pertama yang turun sebesar 2,5 persen.
Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Harris menjelaskan, pandemi Covid-19 memberikan dampak yang luar biasa, termasuk pemanfaatan energi. Kebijakan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan pada beberapa negara secara signifikan mengurangi permintaan kebutuhan listrik.
Harris mengatakan, berdasarkan data beberapa pekan terakhir, segmen bisnis daniIndustri mengalami penurunan signifikan, sedangkan segmen rumah tangga tidak. "Dengan kondisi saat ini, kami melihat perlu ada prioritas untuk EBT dan konservasi energi dalam pasca-Covid-19, yaitu perlu stimulus," kata Harris, Senin (25/5).
Berdasarkan analisis Wood Mackenzie, instalasi storage & PLTS global 2020 diperkirakan akan turun hampir 20 persen dibandingkan sebelum Covid-19), instalasi angin (wind) diperkirakan turun sebesar 4,9 gigawatt (GW) (6 persen). Penurunan instalasi EBT dan langkah-langkah efisiensi energi menyebabkan 106 ribu orang hilang pekerjaan pada Maret 2020 di Amerika Serikat. Begitu pun 51 ribu orang pekerja pengeboran dan pemurnian di periode yang sama. Analisis menunjukkan, 15 persen atau lebih dari setengah juta tenaga kerja energi bersih bisa menganggur selama beberapa bulan mendatang.
Untuk tren beban listrik nasional selama pandemi ini, kondisi sistem Jawa-Bali, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi mengalami penurunan permintaan. Penurunan tertinggi terjadi pada sistem Jawa Bali yaitu sebesar minus 9,55 persen.
Harris menjelaskan, paket stimulus ekonomi pasca pandemi harus mencakup investasi energi bersih. Karena energi bersih menghasilkan pengembalian ekonomi tiga hingga delapan kali lebih tinggi dari investasi awal, sebagaimana analisis World Resources Institute (WRI); ketidakstabilan harga bahan bakar fosil memberikan peluang global untuk mempercepat peralihan ke energi bersih. Serta investasi dalam EBTKE dapat menghasilkan 63 juta pekerjaan baru pada 2050.
“Pilihannya dua, yaitu membuka kembali ekonomi yang di-drive sumber bahan bakar yang gagal di masa lalu, atau memulai jalan menuju masa depan yang bersih, termasuk efisiensi energi. Pemerintah dan investor harus menyikapi bahwa Covid-19 bukan sebagai sinyal untuk memperlambat, tetapi untuk mempercepat EBT,” tandas Harris.