REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dosen Universitas Islam Malang (Unisma), Masyhuri Mahfudz dan Muhamad Mansur telah berusaha mengoptimalisasikan ekonomi syariah melalui transaksi qordhul hasan. Upaya ini dilakukan melalui riset dengan menyasar 32 pelaku ekonomi kreatif yang telah dibina sejak 2016.
Masyhuri Mahfudz menjelaskan, latar belakang penelitian terkait transaksi qordhul hasan tak lepas dari perkembangan bank syariah hingga bulan kedua 2016 di Malang Raya. Saat itu sudah tersedia 28 bank syariah dari berbagai lembaga. Namun survei mengenai pelaksanaan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dinilai tak beda dengan bank konvensional.
LKS di 2016 masih menggunakan berbagai macam model transaksi konvensional. Beberapa di antaranya seperti mudharabah, wadiah, bai, musyarakah dan sebagainya. "Mereka menggunakannya dengan dalih bukan bunga tetapi ‘margin’, biaya administrasi-keutungan-bebungan dan sebagainya," jelas Masyhuri saat dikonfirmasi Republika, Jumat (8/5).
Berdasarkan situasi tersebut, para peneliti Unisma mencari metode yang sekiranya tidak memainkan peranan bunga uang. Transaksi yang dapat memberikan keutungan cukup signifikan melalui transaksi qordhul hasan. Metode yang tidak menimbulkan beban besar terhadap peminjam maupun sebaliknya.
Secara teori, qardh merupakan suatu cara memberikan (menghutangkan) harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Untuk dikembalikan, pengganti dapat ditagih atau diminta kembali kapan saja penghutang menghendaki. Akad qardh ini diperbolehkan dengan tujuan meringankan (menolong) beban orang lain.
Sementara Qardh Hasan (QH) diimplementasikan pada dua sisi seperti orientasi keuntungan dan sosial. Penerapan teori QH orientasi keuntungan ternyata menghasilkan tiga dari 23 nasabah mengalami kemacetan. Namun rata-rata keuntungannya 50 persen di atas transaksi konvensional dan 20 persen dari LKS.
Masyhuri tak menampik, menemukan kendala pada penerapan QH orientasi keuntungan. Salah satunya sikap manja para nasabah saat ditawarkan beberapa pola transaksi QH. Apabila nasabah tidak memenuhi kewajibannya, maka peminjam dapat memberikan teguran dengan pendekatan empati (silaturahim) dan terus dilakukan sampai mereka memenuhi kewajibannya.
"Dan dari 13 persen nasabah yang macet 50 persen di antara itu telah menyelesaikannya kewajiban," katanya.
Sementara ihwal teori QH-orientasi pada sosial, Masyhuri menyatakan, ini diwujudkan dalam bentuk dana zakat produktif. Dana ini dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan penelitian ini, Masyhuri menyimpulkan, transaksi dengan qardh cukup memberikan ketenangan dan kebahagiaan bagi para pelaku ekonomi kreatif. Indikasi kebahagiaan dan ketenangan ini berupa pengembalian pembiayaan tidak dibebani apapun. Dalam hal ini tak lepas dengan fleksibiltas dari ‘waktu’ pengembalian.
Selain itu, besaran pinjaman dan tabungan (sebagai indikator dalam pertumbuhan ekonomi) di transaksi qardh bernilai positif. Hal ini berarti pinjaman besar selalu dibarengi dengan tabungan banyak pula. Selanjutnya, transaksi qardh merupakan salah satu tawaran model pembiayaan pada pelaku ekonomi kreatif yang mendapatkan responsi cukup baik.
Hal terpenting, Masyhuri berpendapat, tingkat kepercayaan transaksi qardh pada semua pihak harus sempurna. Mereka juga harus menjunjung tinggi kesepakatan yang telah dibangun.
Apapun kelemahannya, Masyhuri menilai, pada skala besar akan membutuhkan biaya tidak sedikit. Untuk itu, transaksi qardh memerlukan penelitian dan/atau pengabdian lebih lanjut. Hal ini setidaknya diharapkan dapat memunculkan inovasi yang adoptif nantinya.
"Ada ‘ide’ yang cukup inovatif yang dapat meringankan beban-beban operasional, namun ‘biaya sosialnya’ cukup tinggi-masih belum siap, yakni berupa ‘dugaan’ sama saja dengan minta kompensasi dari dana yang dipinjamkan," jelas Masyhuri.