Kamis 07 May 2020 14:31 WIB

Penerapan Quantitative Easing Bisa Picu Inflasi Tinggi

Quantitative Easing banyak dilakukan negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Surat Utang. ilustrasi
Foto: ist
Surat Utang. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan Quantitative Easing (QE) di Indonesia dinilai berisiko. Sebab, kebijakan moneter itu dapat menyebabkan inflasi sangat tinggi.

"Saya selalu bilang hati-hati lakukan QE ketika pandemi Covid-19, karena ini wilayah yang orang nggak bisa tebak. Inflasi yang saat ini rendah bs tinggi didorong harga pangan, karena mungkin ada krisis global pangan," jelas Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira dalam webinar Kajian Ekonomi Hipmi pada Rabu (6/5).

Baca Juga

Jika Bank Indonesia (BI) lakukan QE dalam kondisi tersebut, maka Indonesia bisa menghadapi kondisi hyperinflation atau inflasi tinggi. "Kita bisa alami sama seperti 1960 lalu, karena walau kondisi ekonomi kita dulu dan sekarang berbeda tapi sama rapuhnya bahkan sekarang kita semakin terikat dengan dolar AS," tuturnya.

Menurut Bhima, bila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan BI agar melakukan QE, harus ada kajian akademiknya. Tidak boleh mengawang.

Dampak penerapan QE berikutnya, lanjut Bhima, yakni transfer risiko. Misalnya QE dilakukan dengan membeli surat utang korporasi yang dari sebelum pandemi memang bermasalah, maka imbasnya, risiko korporasi tersebut akan ditanggung BI.

"Efeknya perlu diperhitungkan, karena bank sentral bisa kena risiko. Sayangnya, membeli surat utang korporasi juga dibahas dalam Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Nomor 1 2020, Perppu itu banyak problem-nya," kata dia.

Bhima menjelaskan, pada 2008 QE banyak dilakukan negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Hanya saja berbagai negara berkembang mulai mengikuti langkah negara maju tersebut, padahal risikonya bagi mereka lebih bahaya.

"Kenapa AS mau lakukan QE pada 2008? Karena mereka percaya diri dan percaya, mata uangnya dolar AS dipakai banyak negara dalam setiap transaksi. Artinya, pemerintah injek likuiditas, orang masih percaya terhadap dolar AS, seperti kita tahu 85 persen total perdagangan dunia pakai dolar AS, jadi ketika mereka cetak uang atau QE, permintaan dolar relatif stabil," jelas Bhima.

Hanya saja, lanjut dia, bayangkan melakukan QE tanpa memiliki underlying asset jelas. Apalagi sampai membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar perdana.

"Karena siapa yang minta rupiah di masa pandemi sekarang? Dan apakah confidence orang pegang rupiah?" ujarnya.

Menurut Bhima, ada masalah yang sifatnya fundamental. Maka tidak bisa semudah itu meniru AS melakukan QE, sebab mata uang rupiah bisa terdepresiasi semakin parah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement