REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Dhenny Yuartha Junita menilai, wajar bila petani gula meminta pemerintah untuk menaikkan harga pada musim giling tahun 2020. Dhenny menilai, menaikkan harga gula dengan wajar bisa menjadi solusi jangka pendek untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh petani gula di Indonesia.
"Wajar petani mendesak kenaikan harga gula, karena di hilir saja harganya sampai Rp 18 ribu, kalau harga acuan di petani tidak ikut disesuaikan, berarti ada keuntungan yang tidak bisa dinikmati petani," kata Dhenny kepada Republika.co.id, Ahad (26/4).
Acuan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gula di tingkat petani sebesar Rp 9.100 per kilogram (kg) sedangkan harga eceran tertinggi (HET) di tingkat konsumen sebesar Rp 12.500 per kg.
Adapun kalangan asosiasi petani meminta agar HPP gula dinaikkan menjadi Rp 14.000 per kg dan HET gula menjadi Rp 16.000 per kg. Bukan tanpa sebab, kenaikan itu diusulkan lantaran adanya kenaikan harga produksi gula serta berbagai kenaikan harga komoditas akibat Covid-19.
Dhenny mengatakan, berdasarkan data historis 2018-2019, rata-rata tren harga gula di tingkat konsumen berada di kisaran Rp 13.000 - Rp 14.000 atau melebihi HET. Tahun ini, kenaikan secara konsisten mulai terjadi sejak Februari 2020.
Ia menilai, terdapat perilaku panic buying dari masyarakat sehingga membuat lonjakan harga yang tak bisa dikendalikan. Di satu sisi, periodisasi impor gula yang kurang tepat sehingga memberikan dampak yang cukup fatal bagi masyarakat.
Karena itu, Dhenny menilai mengevaluasi harga gula sesuai kondisi riil bisa menjadi solusi jangka pendek menyikapi situasi darurat saat ini. Namun, untuk jangka panjang perlu identifikasi masalah secara khusus.
"Oke kalau harga dinaikkan, tapi ketika nantinya kasus seperti ini terulang, berati ada masalah di ongkos produksinya. Fokusnya harus pada restrukturisasi biaya produksi gula di Indonesia," kata Dhenny.
Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan jika kenaikan harga gula terus terjadi, ada kemungkinan disengaja oleh spekulan agar pemerintah terus membuka keran impor. Situasi itu, tentunya merugikan para petani gula di Indonesia.