REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri perbankan diperkirakan mengalami tekanan dari sisi risiko kredit pada tahun ini. Hal ini akibat penyebaran virus corona di Indonesia.
Ekonom Senior Fauzi Ichsan mengatakan risiko kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) gross dan risiko kredit perbankan akan mengalami kenaikan. Diperkirakan NPL gross perbankan akan berada di atas tiga persen, dari posisi saat ini 2,7 persen.
“Stimulus relaksasi kredit tidak membuat risiko kredit menurun, tapi sebaliknya bisa melonjak ke angka 15 persen dari posisi saat ini 11 persen. NPL bisa saja ditahan dengan restrukturisasi, kolektabilitas 1 dan kolektabilitas 2 direstrukturisasi, sehingga tidak turun ke kolektabilitas 3, kolektabilitas 4, atau kolektabilitas 5. Perlu dipertimbangkan kolektabilitas 1 dan 2 akan dampak ke cashflow, jangan sampai NPL secara accounting karena restrukturisasi dibolehkan,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (3/4).
Namun, hal tersebut merupakan skenario terburuk jika perbankan tidak dapat mengatasi para nasabah akibat penyebaran virus corona. Tentunya, hal ini akan berdampak pada kinerja perbankan secara nasional.
Fauzi mencontohkan apabila terjadi risiko kredit yang saat ini sebesar 11 persen menjadi NPL semua, maka rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) perbankan nasional sebesar 23 persen masih dapat diserap (absorb).
"Tapi kembali lagi, karena CAR perbankan relatif bagus masih 23 persen, kalaupun credit at risk 11 persen, jadi NPL masih bisa di-absorb oleh bantalan modal bank. Walaupun bagi bank tertentu akan kesulitan," jelasnya.
Menurutnya saat ini bantalan modal perbankan nasional masih tebal dan mampu menahan apabila terjadi krisis. Namun, hal tersebut tidak terjadi sama jika dilihat dari individual bank.
“Pada 1998-1999 rekapitalisasi perbankan capai Rp 600 triliun, NPL pada saat itu separuh dari balance sheet 40-50 persen. Jadi perbankan Indonesia pernah jauh lebih parah dari sekarang, kita bayangkan saja dulu korporasi bangkrut, bank juga pasti bangkrut," ucapnya.
Ke depan, pihaknya menyakini saat ini kondisi perbankan nasional sudah jauh lebih kuat dibandingkan krisis pada 1998. Perbankan nasional sudah memiliki pengalaman menghadapi krisis dan punya strategi untuk mitigasi risiko di tengah pandemi virus corona.
“Kondisi sekarang masih menantang, tapi tidak semenantang tahun 1998," ucapnya.