Rabu 01 Apr 2020 12:34 WIB

Sri Mulyani: Skenario Terburuk, Ekonomi Kontraksi 0,4 Persen

Pemerintah memproyeksikan ekonomi Indonesia bisa tumbuh 2,3 persen tahun ini.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, dalam skenario sangat berat, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mengalami kontraksi hingga 0,4 persen. Proyeksi ini diambil berdasarkan dampak pandemi virus corona (Covid-19) terhadap ekonomi makro domestik yang menjadi sangat berat.

Sementara itu, dalam skenario yang lebih moderat, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa sebesar 2,3 persen sepanjang 2020. Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan outlook yang pernah disampaikan Sri pada dua pekan lalu, yaitu 2,5 persen sampai 0 persen.

Baca Juga

Namun, Sri memastikan skenario tersebut merupakan forward looking atau bersifat antisipatif. Pemerintah terus berupaya melakukan berbagai langkah untuk memastikan ekonomi tetap stabil, terutama dalam mencegah kontraksi. "Kita upayakan agar (pertumbuhan negatif) tidak terjadi," ujarnya dalam teleconference dengan media, Rabu (1/4).

Outlook terbaru pemerintah jauh lebih rendah dibandingkan asumsi makro yang dicatat pemerintah dalam Undang-Undang APBN 2020, yaitu 5,3 persen. Pemerintah juga mengubah outlook harga minyak mentah Indonesia (ICP) dari 63 dolar AS per barel menjadi 36 dolar AS per barel dalam skenario berat dan 31 dolar AS per barel dalam skenario paling berat. Sri mengatakan, perubahan dalam ICP disebabkan tren penurunan harga minyak di tingkat global.

Sementara itu, untuk nilai tukar rupiah, pemerintah memproyeksikan dapat menyentuh Rp 17.500 per dolar AS hingga Rp 20 ribu per dolar AS. Nilai ini jauh di atas asumsi makro dalam UU APBN 2020, yakni Rp 14.400 per dolar AS. "Tapi, sekali lagi, ini sifatnya forward looking," kata Sri.

Pada tingkat inflasi, Sri menjelaskan, pemerintah memproyeksikan akan meningkat dari 3,1 persen dalam UU APBN 2020 menjadi 3,9 persen sepanjang tahun. Dalam skenario terburuk bahkan angkanya dapat menyentuh hingga 5,1 persen.

Sri menuturkan, pandemi Covid-19 telah menimbulkan tekanan pada perekonomian seluruh negara dengan dampak mencapai 3 hingga 16 persen dari produk domestik bruto (PDB). Isu utama yang perlu menjadi perhatian adalah penanganan kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu, Sri menjelaskan, dukungan dibutuhkan dalam penyediaan berbagai alat kesehatan, perawatan pasien, riset vaksin, dan obat. "Serta pencegahan wabah di masa depan menjadi sangat penting," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement