Selasa 24 Mar 2020 00:20 WIB

Industri Tekstil Butuh Intervensi untuk Cegah PHK

Tiga juta tenaga kerja industri tekstil terancam PHK akibat virus corona.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Pekerja memilah limbah sisa kain di tempat pengepul limbah tekstil, Jakarta.
Foto: Muhammad Adimaja/Antara
Pekerja memilah limbah sisa kain di tempat pengepul limbah tekstil, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan, industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) membutuhkan intervensi pemerintah untuk memperpanjang napas mereka. Khususnya dalam menahan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tengah tekanan wabah virus corona (Covid-19) terhadap kinerja industri.

Jemmy mengatakan, situasi pasar setelah Covid-19 sangat dinamis dengan daya serap TPT yang mulai menurun. Salah satu gambarannya terlihat dari kondisi di Pasar Tanah Abang yang mulai sepi seiring dengan kebijakan social distancing.

Baca Juga

"Terus terang, semua industri butuh nafas panjang untuk sampai ke titik PHK," ucapnya dalam konferensi pers live streaming, Senin (23/3).

Sejauh ini, Jemmy mengatakan, anggota API belum ada yang memberlakukan PHK mengingat dampak Covid-19 yang belum terlalu besar. Hanya saja, kini sudah mulai ada tanda-tanda penurunan permintaan, terutama dari luar negeri. Penundaan (delay) pengiriman sudah dialami beberapa perusahaan mengingat ada kebijakan lockdown di banyak negara.

Tren tersebut berpotensi mengganggu arus keuangan perusahaan. Apabila tidak segera diantisipasi, Jemmy cemas, dapat berujung pada gelombang PHK. "Ini mengancam 3 juta tenaga kerja di industri TPT kita," katanya.

Jemmy menekankan, industri membutuhkan bantuan dari pemerintah agar nafas industri bisa lebih panjang sedikit. Salah satu relaksasi yang diinginkan adalah penundaan pembayaran 50 persen tagihan listrik PLN untuk enam bulan ke depan atau periode April hingga September dengan jaminan cicilan berupa giro mundur selama 12 bulan.

Jemmy menambahkan, industri juga berharap pemerintah mempercepat implementasi penurunan harga gas ke 6 dolar AS per mmbtu mulai April 2020. Masih di sektor energi, para pengusaha TPT meminta diskon tarif waktu beban idle, untuk pukul 22.00 hingga 06.00 WIB sebesar 50 persen.

Suara serupa juga disampaikan pengusaha di sektor hulu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFi). Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wiraswasta meminta pemerintah fokus menjaga cashflow industri untuk mencegah gelombang PHK.

Salah satu poin yang disampaikan Redma adalah cicilan pembayaran gas. "Kami harap pemerintah bisa membantu kami melalui PLN dan PGN," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Di sisi lain, Redma juga berharap pemerintah mempertimbangkan kembali melakukan relaksasi bahan baku impor, terutama di sektor TPT. Sebab, meski saat ini sektor hulu TPT masih berproduksi dalam batasan normal, tren penurunan sudah terjadi sejak beberapa bulan lalu.  Menurut Redma, kondisi tersebut tidak terlepas dari impor bahan baku yang masih tinggi.

Dampaknya, industri dalam negeri harus semakin ‘berebut’ pasar dengan produk impor. Kondisi itu diperparah dengan Covid-19 yang membuat antusiasme pasar domestik menurun. "Pasar kita kecil sedangkan impor garmen besar. Tekanan tidak hanya di industri garmen, juga di kain, benang dan sektor hulu lain," tutur Redma.

Redma menekankan, pasar domestik yang kecil ini harus diberikan 100 persen ke industri dalam negeri. Apabila pasar sudah tidak ada lagi, PHK bukan menjadi hal mustahil mengingat persaingan yang semakin ketat.

Kebijakan lain yang diminta Redma adalah meminta pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor bagi perusahaan yang berorientasi ekspor. Saat ini, kinerja ekspor mungkin tertekan, namun ada potensi membaik pada Juni dan Juli. "Di saat itu, kita minta pembebasan PPN, sehingga bisa relaksasi cashflow kita," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement