Kamis 12 Mar 2020 21:37 WIB

Tantangan Terbesar Pertanian adalah Ketersediaan Lahan

Hampir 120 ribu hektar lahan di Indonesia berubah fungsi setiap tahunnya.  

Ketua Umum HKTI, Moeldoko (ketiga dari kanan) di acara Asian Agriculture and Food Forum (ASAFF) 2020 yang digelar di JCC Jakarta.
Foto: Dok HKTI
Ketua Umum HKTI, Moeldoko (ketiga dari kanan) di acara Asian Agriculture and Food Forum (ASAFF) 2020 yang digelar di JCC Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pembukaan Asian Agriculture and Food Forum (ASAFF) 2020 berlangsung di Istana Negara, Jakarta,  Kamis (12/3),  oleh Presiden Joko Widodo. Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum HKTI, Moeldoko, mengatakan bahwa salah satu tantangan besar pertanian saat ini adalah menyangkut masalah ketersediaan lahan.

Menurut Moeldoko, secara makro sektor pertanian adalah penyumbang GDP (Gross Domestic Product) terbesar di kawasan Asia dan menjadi bagian strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan Asia. “Namun, seiring dengan perkembangan industri dan perubahan iklim, lahan pertanian di kawasan Asia terus menyusut,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id. 

Rural Development and Food Security Forum 2019 yang digelar Asian Development Bank (ADB) di Manila, Filipina, Oktober 2019, mengungkapkan lahan pertanian menyusut hingga 44 persen. Kondisi ini mengancam produksi pangan Asia. 

Padahal ADB menyebut sebanyak 822 juta orang di muka bumi masih berada dalam kondisi tidak aman pangan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 517 juta orang (62,89%) berada di kawasan Asia dan Pasifik. Oleh karena itu  ADB telah menetapkan pertanian dan ketahanan pangan menjadi salah satu dari tujuh prioritas operasionalnya hingga 2030 seiring dengan 17 tujuan SDGs (Sustainable Development Goals).

Mengutip data BPS, Moeldoko menyebutkan bahwa di Indonesia sendiri penyusutan lahan terjadi secara signifikan setiap tahunnya. Menurutnya, hampir 120 ribu hektar lahan berubah fungsi setiap tahunnya.  

“Khusus Indonesia, selain penyusutan lahan kita memiliki lima persoalan pertanian lainnya,” kata Moedolo.

Ia menyebutkan, pertama adalah pemilikan lahan petani yang rata-rata hanya 0,2 hektar dan kondisi tanah yang sudah rusak. Kedua, aspek permodalan. Ketiga, lemahnya manajemen petani. Keempat, minimnya penguasaan teknologi dan inovasi. Dan, kelima adalah penanganan pasca panen.

Pada kesempatan itu, Moeldoko menyinggung tentang kebiasaan umumnya petani yang sering latah dalam menanam. Mereka sering latah menanam tanaman yang sedang tinggi harganya di pasaran. “Ini justru sering merugikan petani pada jangka panjang,” tuturnya.

Hal ini berkaitan juga dengan lain masih lemahnya Indonesia dalam  mengelola permintaan dan penawaran harga komoditas, sehingga pada saat-saat tertentu harga yang sedang panen selalu turun karena kelebihan pasokan.

Masalah lain adalah tingkat produksi petani Indonesia belum optimal. “Namun semua tantangan tersebut bukan berarti menjadi justifikasi berkurangnya produksi. Dengan inovasi dan teknologi kita harus mampu melipatgandakan produksi pangan dan pertanian nasional,” tegasnya.

Menurutnya, produktivitas pertanian nasional penting ditingkatkan untuk menjaga ketahanan dan kemandirian pangan.  Sehingga, Indonesia memiliki kedaulatan pangan yang kuat dan tidak perlu lagi mengimpor. Bahkan sebaliknya mampu menjadi pengekspor guna menambah devisa negara dari hasil produk pertanian. 

Dalam jangka panjang, dan ini penting diperhatikan, adalah Indonesia harus mampu menjadi lumbung pangan yang akan turut  menyuplai kebutuhan dunia. “Kita harus menjadi bagian dari produsen pertanian yang sanggup mengatasi kemungkinan terjadinya krisis pangan dalam beberapa tahun ke depan akibat peningkatan populasi, khususnya di Kawasan Asia,” ujarnya. 

Oleh karena itu, kata Moeldoko,  pada 2020 ini, Indonesia menginisiasi membangun sinergi dan kolaborasi antarnegara dan antarpebisnis di kawasan Asia untuk membangun kemandirian pertanian dan ketahanan pangan. Peran dan posisi Asia dalam produksi pertanian global sangat besar. “Jadi kolaborasi itu, selain untuk membangun ketahanan pangan negara-negara Asia sekaligus menjamin ketersediaan pangan dunia,” tuturnya.

Moeldoko menyebutkan bahwa ASAFF menjadi forum pertemuan stakeholders pertanian untuk membahas isu-isu strategis pertanian di kawasan Asia dan membangun kerjasama Government to Govverment (G2G) dan Business to Businss (B2B)  dalam kebijakan pertanian, budidaya pertanian, teknologi pertanian, dan bisnis sektor pertanian, dalam arti luas pertanian, perikanan, peternakan.

Melalui forum ASAFF, Indonesia juga ingin mengembalikan kejayaan rempah nasional dan buah-buah tropikal Nusantara. Sejak dulu Indonesia dikenal dengan kekayaan rempahnya di dunia, namun potensi rempah tersebut belum dikembangkan secara strategis menjadi salah satu kekuatan ekonomi pertaniaan nasional yang dapat merajai pasar dunia, khususnya Asia.

Forum pertanian Asia ini sekaligus akan membahas sinergi dan kolaborasi negara-negara Asia dalam membangun kemandirian pertanian dan kedaulatan pangan akan berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), tanggal 12-14 Maret 2020.

ASAFF 2020 merupakan yang keduakalinya dilaksanakan oleh HKTI setelah yang pertama pada 2018. Tema tahun ini adalah “Asian Agriculture Collaboration in Global Economic Competition”. Di dalamnya membahas pengalaman negara-negara di Asia dalam mengembangkan pertanian dan merancang sinergi dan kolaborasi  memperkuat pertanian Asia untuk menjadi pemain utama di sektor pertanian global.

Pembukaan ASAFF 2020 di istana dihadiri sekitar 400 peserta yang terdiri atas pengurus HKTI, petani, pegiat pertanian, dan pegiat bisnis di bidang pertanian, serta sejumlah menteri terkait. Moledoko tak lupa kembali mengucapkan terima kasih kepada Presiden Jokowi yang berkenan membuka ASAFF 2020 sekaligus menerima delegasi HKTI, terutama para petani.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement