Senin 02 Mar 2020 04:18 WIB

Aruna: Temukan Nelayan dan Konsumen dalam Satu Platform

Konsumen Aruna langsung membayar agar nelayan tidak diutangi dalam waktu lama.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Salah satu founder Aruna, Utari Octavianty
Foto: Dok. Pribadi
Salah satu founder Aruna, Utari Octavianty

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berangkat dari rasa prihatin terhadap kondisi industri perikanan dan kelautan Indonesia, tiga anak muda mendirikan sebuah start up (perusahaan rintisan) bernama Aruna pada empat tahun lalu. Mereka adalah Farid Naufal Aslam, Indraka Fadhlillah dan Utari Octavianty.

Tiga alumnus Universitas Telkom Bandung ini menilai, hasil laut di Indonesia belum tergarap secara maksimal. Padahal, sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi yang begitu besar. Penyebabnya, masih banyak permasalahan yang mengelilingi industri ini, dari segi produksi berkelanjutan dan pemasaran.

Utari mengatakan, permasalahan tersebut terlihat setelah mereka melakukan riset selama dua tahun. Tidak sekadar belajar mengenai teori, mereka bahkan ‘terjun’ ke lautan untuk menyaksikan secara langsung kehidupan para nelayan Indonesia.

"Di situ, kita dapat melihat situasi real dan akar permasalahannya," ucapnya ketika ditemui Republika di tengah acara Indonesia Development Forum, beberapa waktu lalu.

Utari menyebutkan, bukti permasalahan besar pada industri perikanan dan kelautan terlihat dari harga di tingkat nelayan yang begitu rendah, tapi sangat tinggi di konsumen. Ia mmeberikan contoh ikan cakalang. Di tingkat nelayan, harganya hanya Rp 15 ribu per kilogram yang kemudian dapat melesat menjadi Rp 26 ribu per kilogram saat di pasaran.

Contoh lebih parah terjadi pada ikan kakap merah. Utari menjelaskan, jenis tersebut hanya dibeli Rp 25 ribu per kilogram di tingkat nelayan. Tapi, begitu sampai di Cina, harganya menjadi 10 kali lipat atau Rp 250 ribu per kilogram.

Kondisi tersebut yang membuat kesejahteraan para nelayan tidak membaik. Sebagai anak pesisir, Utari memahami betul kondisi nelayan. Rata-rata penghasilan nelayan hanya Rp 1,1 juta tiap bulan. Tidak sedikit juga di antara mereka yang terperangkap dari jaring kemiskinan. Ini yang menyebabkan jumlah nelayan berkurang 50 persen dalam satu dekade terakhir.

Dari berbagai kelompok nelayan, Utari, Farid dan Indraka berkunjung ke kampung nelayan di pelosok Jawa Barat. Setelah memetakan permasalahan yang ada, mereka merancang sebuah sistem yang diharapkan mampu menjadi solusi. Di antaranya, memasarkan hasil laut tanpa tengkulak dan menyediakan ‘jembatan’ agar para konsumen bisa mendapatkan komoditas dengan harga terjangkau.

Saat itu, modal Utari dan teman-teman hanya Rp 10 juta. Mereka mendapatkannya saat menjadi juara dalam kompetisi rencana bisnis di Universitas Negeri Padang. Melalui modal yang terbatas itu, mereka membentuk perusahaan rintisan berbentuk pasar online yang diberi nama Pasarlaut.com, dikelola leh PT Aruna Haya Nuswantara.

Selain membangun e-commerce atau platform bertemu antara nelayan dengan konsumen, Aruna juga membuat big data. Aplikasi ini menyuplai data tangkapan hasil laut secara real time dari para nelayan. Para nelayan diajak untuk mengupdate aplikasi ini. “Misal, jenis apa saja yang mereka dapatkan dan berapa jumlahnya,” ujar Utari.

Setelah para nelayan mengimput data, pemerintah dan perusahaan swasta dapat mengakses data tersebut melalui aplikasi berbeda. Layanan ini dikenal dengan nama Integrated Fishery Management atau sistem aplikasi terintegrasi untuk pengelolaan bisnis perikanan. Jadi pihak-pihak yang membutuhkan data tangkapan hasil laut seperti dunia usaha dan pemerintah dapat memantau lewat aplikasi ini.

Dua layanan ini masuk dalam Integrated Fishery System. Sistem ini merupakan platform berbasis cloud guna membantu perusahaan, pemerintah dan lembaga yang terlibat dalam industri perikanan dengan berbagai tujuan. Baik itu untuk mengelola, menganalisis dan melaporkan data secara real time dan mudah.

Sementara itu, e-commerce pasarlaut termasuk dalam layanan Online Fishery Trading, sistem perdagangan ikan dan hasil laut secara online. Secara umum, Aruna menyajikan informasi hulu sampai hilir dari industri perikanan dan kelautan.

"Informasi publik ini dibuka untuk menciptakan transparnasi dalam industri di Indonesia," ucap Utari.

Dalam menjalani transaksi di e-commerce, Aruna menjadi ‘jembatan’ antara nelayan dengan konsumen. Sebelum memesan, perusahana harus menandatangani kontrak terlebih dahulu, termasuk meliputi jumlah kebutuhan mereka. Setelah itu, Aruna mengontak nelayan untuk melihat kesanggupan mereka dalam memenuhi kuota. Apabila menyanggupi, transaksi baru dijalankan.

Pola yang diterapkan dalam e-commerce ini adalah Business to Business (B to B). Pembelian yang dilayani adalah dalam jumlah besar, yakni kuantitas di atas 100 kilogram. Konsumen yang memesan tangkapan para petani kebanyakan pemilik restoran hingga supermarket. Pendapatan dari seluruh transaksi lewat aplikasi ini dapat mencapai Rp 690 miliar setiap bulan.

Utari mengatakan, transaksi ini tidak hanya berasal di lingkup Indonesia. Platform e-commerce besutan Aruna sudah diakses konsumen dari luar negeri seperti Vietnam, Singapura dan Malaysia. Bahkan, kepiting dan rajungan dari salah satu kelompok nelayan di Berau, Kalimantan Timur, sudah dipasarkan hingga ke Amerika Serikat dan Cina.

Cara pembayarannya, konsumen tersebut langsung membayar kepada nelayan. Utari menjelaskan, konsep ini diberlakukan agar nelayan tidak lagi diutangi dalam jangka waktu lama, seperti yang kerap terjadi dahulu. Kalaupun konsumen lama membayarnya, Aruna akan menalangi terlebih dulu. "Kita bayar di muka," kata Utari.

Untuk semakin memicu semangat para nelayan, Aruna memberlakukan sistem kupon kepada para nelayan. Tiap penjualan hasil tangkapan 10 kilogram, nelayan mendapatkan satu kupon ‘hadiah’ setara Rp 20 ribu yang dapat mereka tukar dengan kebutuhan pokok ataupun alat tangkap seperti jaring.

Sampai saat ini, setidaknya Aruna sudah menggandeng lebih dari 2.000 nelayan di 16 provinsi. Sebanyak 86 jenis ikan sudah dipasarkan, termasuk udang, kepiting dan beragam ikan.

Dengan memanfaatkan e-commerce, Utari menuturkan, keuntungan sudah dirasakan di kedua belah pihak, petani dan konsumen. Sebab, berdasarkan data yang dihimpun Aruna, harga di tingkat nelayan dapat meningkat sampai 20 persen, sedangkan harga di pembeli turun sampai 10 persen. "Terpenting di sini adalah keberlanjutan, suplainya stabil," ucapnya.

Utari mengakui, pekerjaan rumah Aruna masih besar. Meski sudah menjangkau ribuan petani, masih ada ribuan petani lainnya yang belum ‘terjamah’ teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, Aruna akan terus menggandeng para nelayan maupun para pemuda untuk ikut terlibat menjadi bagian dari Aruna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement