REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) akan menerbitkan peraturan mengenai tata niaga dan harga nikel di dalam negeri pada Maret 2020. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, peraturan itu bertujuan untuk mengakomodasi keinginan penambang dan smelter dalam transaksi nikel.
"Bentuknya Kepmen (Keputusan Menteri), karena ini kebutuhan yang harus segera diakomodir dari keinginan para penambang sekaligus membenahi tata kelola jual beli nikel," ujarnya usai diskusi Prospek Industri Nikel Dalam Negeri di Jakarta, Jumat (28/2).
Sedianya, lanjut dia, peraturan itu akan terbit paling lambat akhir Maret 2020. Peraturan itu akan mengatur Harga Patokan Mineral (HPM) antara penambang dan smelter sehingga sesuai dengan perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) ore nikel.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Mardani H Maming mengharapkan HPM yang ditentukan oleh pemerintah dapat memberikan kebaikan bagi penambang maupun pengusaha smelter.
"HPM hendaknya diatur dengan memperhatikan prinsip kepastian dan keadilan, tanpa merugikan semua pihak, baik pemilik smelter, penambang, terutama negara dan bangsa Indonesia," ujarnya.
Ia mengemukakan harga bijih nikel kadar 1,8 persen Free on Board (FoB) Filipina saat ini dihargai antara 59-61 dolar AS per wet metric ton (wmt) sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1,8 persen FoB sebesar 38-40 dolar AS per wmt merupakan harga yang wajar.
Selain itu, Mardani juga meminta agar nikel dengan kadar 1,7 persen dapat diterima smelter, mengingat kadar nikel itu yang menjadi standar ekspor sebelum pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor nikel pada 1 Januari 2020.
"Kita tahu bersama bahwa setiap proses penambangan tidak dapat dipastikan kadar ore yang diperoleh, sehingga jika ore yang didapat memiliki kadar 1,7 persen, bisa kita hitung berapa besar kerugian penambang. Oleh karenanya, saat ini banyak penambang yang memilih menghentikan produksi," katanya.