REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2020 sulit untuk mencapai lima persen. Penyebab utamanya, penyebaran virus corona yang menghambat pertumbuhan global sehingga berdampak terhadap kinerja ekonomi domestik.
Yusuf mengatakan, virus corona mempunyai efek yang cukup besar karena melibatkan China. Lebih buruk lagi, outbreak-nya terjadi di kota Wuhan salah satu kota industri, sehingga berpengaruh terhadap rantai pasok global dan Indonesia tentu akan terdampak.
"Untuk kuartal pertama, kami prediksi pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 4,8 sampai 4,9 persen secara year on year (yoy)," ujarnya ketika dihubungi Republika, Kamis (27/2).
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menstimulus ekonomi domestik sehingga mampu menopang ekonomi di tengah virus corona. Di antaranya, melakukan frontloading dan memberikan insentif ke berbagai industri seperti pariwisata dan konstruksi.
Yusuf menilai, efek terhadap percepatan belanja pemerintah kami prediksikan akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di semester pertama. "Jika insentifnya tepat secara keseluruhan tahun ini masih akan berada di kisaran 4,9 sampai 5,1 persen," katanya.
Insentif tepat yang dimaksud Yusuf adalah kebijakan fiskal, moneter dan sektor riil dapat dilakukan secara harmonis. Tidak hanya dilakukan di kuartal pertama, kolaborasi seimbang ini harus dilakukan sepanjang tahun.
Yusuf menekankan, memang pemerintah sudah mengeluarkan insentif untuk pariwisata, namun itu tidak cukup. Guna menopang pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu menyediakan insentif untuk sektor manufaktur. "Dalam bentuk, misalnya, penyediaan impor bahan baku," katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, situasi corona memberikan dampak ke berbagai sektor di Indonesia. Salah satunya, manufaktur. Penghentian ataupun pelambatan produksi aktivitas di China akibat virus corona membuat industri Indonesia mulai kesulitan mendapatkan bahan baku.
Sektor yang juga terdampak adalah pariwisata. Jumlah wisatawan China ke Indonesia sekitar 200 ribu per bulan. Seiring dengan penutupan akses dari China pada awal Februari, jumlah itu menurun signifikan dan bahkan sama sekali 'menghilang'.
Keterkaitan China dengan Indonesia memang besar. Sri menilai, apabila ekonomi China turun satu persen saja, dampaknya bisa 0,3 hingga 0,6 persen ke Indonesia.
"Berarti, kalau base line kita di lima sampai 5,3 persen, ekonomi kita tumbuh lima sampai 4,7 persen," ucapnya dalam diskusi Economic Outlook 2020 di Jakarta, Rabu (26/2).
Sri memastikan, pihaknya terus mengantisipasi dampak itu. Ia bersama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan berkomunikasi untuk menstimulasi ekonomi countercyclical dengan instrumen kebijakan di dalam masing-masing kewenangan mereka.