REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebutkan bahwa negosiasi antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) tentang pemberian fasilitas generalized system of preferences (GSP), nyaris rampung. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, pihak United States Trade Representative (USTR) memutuskan menyudahi seluruh pembahasan yang sempat terganjal.
"GSP ya menurut laporan sudah hampir selesai. Hal yang kemarin dianggap pending sudah dianggap selesai. Jadi kalau ini kan berarti review-nya selesai," ujar Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (26/2).
Negosiasi kali ini tidak mengubah daftar produk ekspor Indonesia yang mendapat fasilitas GSP. Menurut Airlangga, jumlah produk asal Indonesia yang mendapat fasilitas GSP setara dengan 20 persen produk impor AS dari seluruh dunia. Hanya saja memang belum semua produk ekspor Indonesia ke AS yang sudah memanfaatkan fasilitas GSP.
"Sekarang kan kira-kira GSP 20 persen dari perdagangan kan sudah ada listnya. Tidak ada (perubahan), sementara belum," jelas Airlangga.
Rampungnya pembahasan GSP ini, membuat pemerintah akan melanjutkan negosiasi lainnya seperti pemberian fasilitas pengurangan bea masuk terhadap produk tekstil. Namun pemberian fasilitas ini baru bisa diberi bila kapasnya diimpor dari AS.
"Kalau GSP selesai justru kita bisa bicara yang lain-lain. Kita kemain minta tambahan misalnya fasilitas cotton terhadap tekstil jadi kalau cotton-nya kita beli dari mereka bea masuknya bisa turun sedikit. Tapi ini belum bisa dibahas kalau GSP belum selesai," jelas Airlangga.
GSP merupakan program Pemerintah AS untuk mendorong pembangunan ekonomi negara-negara berkembang yang terdaftar, termasuk Indonesia. Dorongan dilakukan dengan membebaskan bea masuk ribuan produk negara tersebut ke AS. GSP juga diyakini mampu meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar AS. Sejumlah produk yang selama ini telah memanfaatkan fasilitas GSP, antara lain karet dan ban mobil, emas, perhiasan logam, alumunium, baterai, hingga sarung tangan.