Senin 24 Feb 2020 14:13 WIB

Indonesia Keluar dari Negara Berkembang, Ini Kata Kemenko

Keluarnya Indonesia dari daftar berdampak pada kinerja perdagangan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Suasana Kota Jakarta. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menilai, kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengeluarkan Indonesia dari negara berkembang pasti  Keluarnya Indonesia dari daftar berdampak pada kinerja perdagangan.
Foto: AP Photo/Alberto Pezzali
Suasana Kota Jakarta. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menilai, kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengeluarkan Indonesia dari negara berkembang pasti Keluarnya Indonesia dari daftar berdampak pada kinerja perdagangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menilai, kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengeluarkan Indonesia dari negara berkembang pasti berdampak pada kinerja perdagangan. Termasuk, menjadikan neraca dagang Indonesia-AS yang biasanya surplus menjadi defisit. 

Tapi, Susiwijono memastikan, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sudah melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan permasalahan. "Nanti, teman-teman (Kementerian) Perdagangan yang akan menjelaskan," tuturnya ketika ditemui usai diskusi di Jakarta, Senin (24/2). 

Diketahui, pemerintah AS melalui Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tidak lagi memasukkan Indonesia sebagai negara berkembang. Keputusan tersebut disampaikan oleh USTR melalui pernyataan pada Senin (10/2).

Dengan keluar dari daftar negara berkembang, Indonesia tidak lagi mendapatkan perlakuan istimewa dalam perdagangan. Selama ini, negara-negara yang menyandang status negara berkembang mendapatkan keistimewaan bea masuk dan bantuan lainnya dalam aktivitas ekspor-impor atau kerap disebut Generalized System of Preferences (GSP). 

Susiwijono juga menyebutkan, kebijakan AS tersebut berpotensi berdampak pada kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan. Sebab, sebanyak 12,9 persen ekspor Indonesia ditujukan ke AS. "Pasti akan sangat berpengaruh," tuturnya. 

Untuk mengantisipasi dampak dalam terhadap industri, Susiwijono mengatakan, pemerintah siap memberikan insentif perpajakan kepada eksportir melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja maupun Perpajakan. Meski ada potensi kehilangan pendapatan negara, insentif ini akan mampu membantu industri untuk menghadapi risiko. 

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menyebutkan, Indonesia masih berpotensi mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat (AS). 

Shinta menyebutkan, kebijakan USTR mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang hanya berlaku untuk status di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). "Jadi, tidak ada pengaruh kepada GSP," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id.

GSP merupakan program unilateral Pemerintah AS berupa pembebasan tarif bea masuk ke pasar negara tersebut kepada 121 negara berkembang, termasuk Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement