Selasa 18 Feb 2020 16:27 WIB

Alasan Pemerintah Ubah Formula Penghitungan Upah Minimum

Dalam RUU Omnibus Law penghitungan upah minimum tak lagi mempertimbangkan inflasi

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Upah buruh dan pekerja. ilustrasi
Upah buruh dan pekerja. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menjelaskan alasan di balik perubahan formula pengupahan minimum yang tertuang dalam omnibus law cipta kerja. Dalam formula baru ini penghitungan upah minimum tak lagi mempertimbangkan laju inflasi dan mengganti variabel pertumbuhan ekonomi nasional menjadi pertumbuhan ekonomi provinsi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, dihapusnya variabel pertumbuhan ekonomi nasional lantaran kebijakan pusat tak bisa disamaratakan untuk seluruh daerah. Angka produk domestik bruto (PDB) nasional juga dianggap tak bisa mewakili kondisi ekonomi sebuah daerah atau provinsi tertentu.

Baca Juga

"Kebijakan di pusat tak bisa mencerminkan daerah. Misalnya Jabar Utara daerah Bekasi, Karawang, Purwakarta, upahnya juga relatif lebih tinggi dari DKI Jakarta. Sedangkan di Jabar Selatan masih memerlukan kegiatan ekonomi," ujar Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (18/2).

Airlangga melanjutkan, penggunaan rumus pengupahan yang lama dengan prinsip 'One Size Fit for All' alias satu ukuran untuk semua, justru akan membuat Jawa Barat dengan standar upah yang sudah tinggi semakin ditinggalkan investor. Dengan one size fit for all, tahun 2020 ini upah minimum di 34 provinsi naik sama rata, 8,51 persen.

Sedangkan dengan sistem pengupahan yang baru, maka kenaikan upah minimum di setiap provinsi bisa saja berbeda-beda tergantung dari pertumbuhan ekonomi setiap daerah. Kondisi ini diyakini lebih realistis dan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat setempat. Investor pun tak lagi terpaku untuk mencari daerah dengan upah rendah, karena kenaikan upah setiap provinsi kini tak lagi sama rata.

"Kalau one size fit for all itu (Jawa Barat) selatan bisa tak tersentuh sehingga (investor) lari ke Jateng. Apalagi pemerintah keluarkan PP (Peraturan Pemerintah) khusus Jateng dan Jatim. Sehingga tentu industri padat karya Jabar akan ditinggalkan," jelas Airlangga.

Formula pengupahan yang baru, dengan hanya mempertimbangkan angka pertumbuhan ekonomi provinis, diharapkan membuat Jawa Barat yang sudah lebih dulu dipenuhi industri padat karya tak sepenuhnya ditinggalkan investor. Justru, ujar Airlangga, aktivitas ekonomi bisa saja mengalir ke Jawa Barat bagian selatan yang selama ini belum riuh oleh kegiatan ekonomi.

"Ini juga untuk memberikan kesempatan kerja kepada 7 juta masyarakat Indonesia yang belum masuk ke lapangan kerja," ujar Airlangga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement