Ahad 09 Feb 2020 11:15 WIB

Pelambatan Ekonomi, Pemerintah Diminta Fokus Urusan Domestik

Pelambatan ekonomi momentum mendongkrak potensi ekonomi domestik.

Pelambatan ekonomi momentum mendongkrak potensi ekonomi domestik. Produk kerajinan UMKM.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Pelambatan ekonomi momentum mendongkrak potensi ekonomi domestik. Produk kerajinan UMKM. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah diminta fokus mengatasi persoalan dalam negeri untuk mendongkrak kembali pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat dalam beberapa tahun terakhir. Pelambatan pertumbuhan ekonomi ini  menunjukkan pemerintah tidak mampu mengatasi masalah domestik, meskipun sudah memacu pembangunan infrastruktur dan investasi.

Menurut pengamat ekonomi, Bambang Haryo Soekartono, sejak pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi belum pernah tembus 5,2 persen. Pada 2014, ekonomi hanya tumbuh 5,01 persen bahkan sempat turun menjadi 4,88 persen pada 2015. Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada era Jokowi terjadi pada 2018 yakni 5,17 persen.

Baca Juga

“Pemerintah selalu menyebut ketidakpastian global memukul ekonomi Indonesia, padahal penyebab terbesarnya adalah masalah di dalam negeri,” katanya kepada wartawan, Sabtu (8/2).  

Bambang juga merupakan anggota DPR RI periode 2014-2019 ini mengatakan, masalah domestik yang menyebabkan ketidakpastian, antara lain inkonsistensi regulasi, upah minimum yang berbeda-beda di setiap daerah, fluktuasi bahan pokok dan energi, pungutan liar, korupsi, serta kerusakan infrastruktur.  

Sebagai contoh, tutur Bambang Harto, bawang putih yang merupakan salah satu kebutuhan pokok masih dikuasai oleh spekulan dan mafia sehingga harganya berfluktuasi dan penuh ketidakpastian. Sejak merebak virus corona, harga bawang putih di dalam negeri tembus Rp70 ribu per kg, naik lebih dua kali dari tahun lalu sekitar Rp 30 ribu per kg. Padahal harga wholesale-nya di China sebagai produsen utama dunia hanya USD 0,76 atau sekitar Rp 10.400 per kg. 

Sedangkan harga gas di Indonesia, kata dia, juga masih tinggi sehingga harga pupuk mahal. Akibatnya, harga komoditas pertanian dan perkebunan sebagai sumber pangan terus naik, seperti harga jagung Indonesia yang termasuk paling mahal di dunia.   

Dia menegaskan ekonomi turun sangat tidak beralasan, sebab pemerintah sudah meluncurkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi, membangun infrastruktur 2-3 kali lipat tiap tahun dari pemerintahan sebelumnya, serta mengucurkan kredit usaha rakyat (KUR) hingga Rp 190 triliun dan Dana Desa Rp 74 triliun per tahun. 

Bahkan, hampir semua partai politik kini bergabung ke koalisi pemerintah sehingga pemerintah pusat bisa lebih mudah mengendalikan pemerintah daerah. “Kalau pemerintah tidak mampu mengatasi masalah domestik, ya keterlaluan,” ujarnya. 

Tak hanya itu, Indonesia memiliki sumber daya melimpah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, baik dari sektor riil, pariwisata, pertambangan, pertanian, perikanan, maupun sumber daya manusia termasuk TKI di luar negeri. 

Namun, posisi strategis Indonesia di poros maritim dunia belum dimanfaatkan maksimal. Perhatian pemerintah terhadap sektor maritim sangat minim dan justru dibebani banyak biaya, seperti pendapatan negara bukan pajak (PNBP) angkutan antarpulau naik hingga 1.000 persen.  “Karena Indonesia negara kepulauan, berbagai beban tambahan di sektor maritim itu akhirnya meningkatkan ongkos logistik antarpulau,” ujarnya.   

Bambang mengatakan, ekonomi seharusnya bisa tumbuh pesat apabila pemerintah bisa meningkatkan daya beli masyarakat serta memberdayakan UMKM dan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. 

Namun kepedulian terhadap UMKM dipertanyakan setelah anggaran Kementerian Koperasi dan UKM dipangkas hampir separuh dari pemerintahan sebelumnya menjadi hanya Rp 970 miliar pada 2020.

Bambang Haryo menegaskan, dinamika global merupakan keniscayaan dan dihadapi semua negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan pemerintah adalah membenahi masalah domestik dan memanfaatkan sumber daya yang ada.

Dinamika global, seperti perang dagang AS-China dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), justru bisa memberikan dampak positif bagi ekonomi nasional apabila pemerintah jeli.  “Negara-negara lain di Asia Tenggara bisa mendapat manfaat dari dinamika global itu sehingga pertumbuhan ekonomi mereka naik, mengapa Indonesia tidak bisa,” kata Bambang Haryo.  

Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 hanya 5,02 persen, jauh di bawah target 5,3 persen dan lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya 5,17 persen. Berdasarkan data Bank Dunia dan ADB, negara-negara di Asia Tenggara yang mampu tumbuh di atas 6 persen pada 2019, yakni Vietnam 6,97 persen, Kamboja 7 persen, Filipina 6,5 persen, Myanmar 6,6 persen, dan Laos 6,5 persen.

 

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement